Vano kembali berbicara meskipun Qiran menunduk, “Aku tidak tahu apa yang membuat kamu berubah begini. Kamu menghindariku seperti aku hendak menagih hutang padamu.” Lelaki itu memajukan tubuhnya sehingga Qiran menjauh ke belakang. “Katakan! Apa yang terjadi? Mengapa kamu menghindar?”
Qiran terbata. Dia menggeleng takut-takut. Vano menghela nafas panjang. Kembali memandang wanita didepannya. Lelaki itu sungguh tidak mengerti, apa yang sedang terjadi dengan Qiran. Dia tidak habis pikir, namun wanita itu berubah adanya. Membuatnya tidak bisa tidur hanya karena memikirkannya.
“Jika kamu tidak mau menjawab. Baiklah, terserah kamu saja. Tapi yang yang harus kamu tahu, aku tidak akan tinggal diam.” Setelah itu, Vano beranjak dari kursinya. Meninggalkan kekecewaan terhadap wanita tersebut.
Qiran menghela nafas berat. Sejak tadi menahan nafas. Mewanti-wanti agar dirinya tidak meledak di hadapan lelaki tersebut. Qiran berhasil, masih sanggup menghirup udara meskipun jantungnya kembang-kempis.
Wanita itu mengangkat kepala, seorang berseragam putih hitam menyodorkan menu. Qiran tersenyum kikuk sembari mengatakan pesanannya. Lelaki itu undur diri, mengatakan pesanannya akan segera di antar. Qiran menghela nafas panjang setelah mengiyakan.
Ekor matanya melirik ke sekitarnya. Seperti biasa. Meskipun banyak orang di sana, namun semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tanpa adanya saling tegur menegur atau berkenalan. Melainkan hanya saling melempar senyum, itupun jarang sekali terjadi.
Qiran menyukai dunia seperti itu. Dia merasa bebas melakukan apapun keinginannya. Pergi kemana pun kakinya melangkah. Tubuh rampingnya yang sangat ringan, berpijak pada bumi yang luas.
Wanita itu mengerang pelan, lagi-lagi lamunannya diganggu oleh seseorang. Qiran tersadar, lelaki tadi kembali dengan beberapa makanan pesanannya. Dengan senyum ramah, lelaki itu menyajikan di depannya.
Perut Qiran terasa perih ketika aroma sop hangat yang kaya akan rempah-rempah memasuki hidungnya. Qiran mengambil sendoknya, mencicipi sedikit dari ujung sendok. Perutnya semakin keroncongan. Sehingga tanpa menunggu waktu lagi, wanita itu makan dengan lahapnya.
Tidak jauh dari tempatnya, Vano menghela nafas panjang. Dia memutar tubuhnya dan benar-benar meninggalkan wanita tersebut di sana. Senyum tipis terukir di wajahnya, meskipun terlihat menyebalkan, namun dia tetap memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.
Bukan tanpa alasan rapat di tunda. Vano sengaja tidak menelpon wanita tersebut lebih pagi karena dia tahu Qiran kelelahan selama perjalanan. Lelaki itu tidak tega membangunkan wanita itu, terpaksa membuka mata sayunya yang indah.
Dalam tiga bulan terakhir, beberapa kali Vano dan Qiran pergi ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaan. Wanita itu selalu tertidur di mobil dan tanpa sadar mereka telah tiba.
Vano tidak tega membangunkannya. Niat awal ingin mengerjainya pun meluap begitu saja. Vano memandangnya lama. Memperhatikan lekuk wajah indahnya. Dari bulu mata lentik, hidung bangir, serta bibirnya yang selalu mengundang untuk Vano mendekat.
Namun Vano menghela nafas panjang. Wanita itu sangat berbeda ketika tidur seperti ini. Mulut pedasnya hilang tanpa bekas. Wajah kesal yang menimbulkan kerut di dahi dan sinisnya pun pudar oleh wajah polosnya dalam tidur. Vano tersenyum tipis, membiarkan wanita itu kembali tidur. Menelpon orang kepercayaannya untuk mengatur waktu. Sebab mereka sudah dipastikan akan terlambat.
Biasanya Qiran akan mengomel setelah dia bangun. Vano yang pura-pura tidur pun merasa terganggu. Wanita itu menunjukkan wajah kesalnya, mulai mengatur pertemuan mereka yang telah terlambat.
***
“Pak Vano… mengapa rapatnya ada di tempat seperti ini?” Qiran mengernyit ketika dia baru turun dari mobil. Menatap tajah lelaki yang hanya berjarak sekitar lima langkah di depannya. Meskipun Qiran mendiami lelaki tersebut, tetapi untuk urusan pekerjaan, dia dan Vano berangkat bersama. Juga membicarakan beberapa hal secara profional.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]
RomanceBroken Angel [TBS #2] . . . Memiliki seorang ibu yang jauh dari kata normal, membuat Vano menutup diri dari sekitarnya. Dulu ketika dia masih sekolah, teman-temannya merencanakan sebuah insiden untuk mencelakai ibunya. Vano tidak membalas perbuatan...