Dua

8.5K 247 12
                                    

Hari-hari pertama aku sekolah benar-benar menyebalkan. Semua senior mengenalku dan tanpa belas kasih, mereka memanfaatkan itu untuk mengerjaiku. Menyuruhku memberikan bunga ke senior atau memaksaku mengatakan cinta ke teman Mas Virza. Dan tentu saja itu membuat Mas Reza semakin merasa menang. Di rumah dia masih saja mengulang ucapanku dua bulan lalu yang tidak mau sekolah di SMA Milenial, tapi sudah ditambah dengan membanggakan diri karena banyak adik tingkat yang mengaguminya. Katanya dia mendapatkan banyak surat cinta.

"Gue baru sadar kalo gue itu ganteng. Terima kasih ya Allah sudah menganugerahi wajah setampan ini," ucapnya saat makan malam.

Aku menyeringai jijik. Mama dan papa tersenyum geli. Sedangkan Mas Virza begidik ngeri.

Untunglah semua malapetaka itu berakhir dalam satu minggu. Sekarang semua sudah berjalan dengan normal. Kami sudah mendapatkan pelajaran dari guru dan tak ada yang mengerjai kami lagi.

Tapi virus terpukau Rara masih terus berlanjut.

"Tau nggak kalian, semalem ada senior yang sms gue. Jangan-jangan itu Bang Virza," ucapnya saat istirahat di kantin. Dia memanggil Mas Virza dengan sebutan 'Bang', begitu juga Mas Reza. Dan katanya, mereka berdua jadi begitu ganteng dengan sebutan 'Bang'.

"Mas Virza udah punya pacar, Ra. Udah kuliah malah."

"Kalo gitu Bang Reza."

"Meski Mas Reza jelek, dia seleranya tinggi banget. Dia cuma pernah pacaran dua kali dan semua mantannya itu kayak artis. Satunya kayak Laudya Chintya Bella dan satunya kayak Dian Sastro. Nggak bakalan mau dia sama lo. Gue aja heran, kenapa cewek-cewek cantik itu mau pacaran sama mamas gue."

Rara langsung diam. Dia sempurna melotot ke arahku. Aku tersenyum polos.

"Kayaknya lo sama Bang Reza nggak pernah akur deh, Nim," ucap Bila.

Aku mengangguk. "Ya namanya kakak-adik. Tapi itu yang buat gue deket sama Mas Reza dibandingkan Mas Virza. Mas Reza itu orangnya perhatian sebenarnya tapi caranya aja yang agak unik dengan menjelek-jelekan orang. Sedangkan Mas Virza itu orangnya nggak suka banyak ngomong, tapi dia juga baik kok."

Bila mengangguk-angguk mengerti.

"Ke kelas yuk!" ajak Rara.

"Eh, tadi gue diminta Pak Taufik buat minjem buku di perpus, gue ke perpus dulu, sebelum masuk," ucapku.

"Ya udah pergi sana, gue ikhlas kok!" sahut Bila.

Aku menyeringai mendengar jawaban Bila. Setelah membayar makanan yang kumakan, aku segera bergegas ke perpus. Seperti yang kulakukan saat masih SMP, aku basa-basi dengan penjaga perpus dan menanyakan buku yang kucari.

"Di sebelah sana!" Penjaga perpus menunjuk rak yang ada di ujung. "Barisan B4."

Aku mengucapkan terima kasih dan menuju barisan yang dikatakan penjaga perpus. Aku memperhatikan sekeliling perpus dan suasananya hampir sama seperti perpusatakaan di SMP dulu. Sepi. Hanya sedikit siswa yang ada di sini. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di kantin dari pada di perpus.

Tapi ketika melihat siswa yang ada di bangku paling ujung, aku merasakan sesuatu yang beda. Bukan dari buku yang dipegang oleh cowok itu, tapi dari mimik wajahnya. Dia begitu tegang membaca buku itu. Aku menyentuh buku yang ada di depanku, namun mataku tetap memandang cowok itu. Tiba-tiba saja dia berdiri dan berjalan ke arahku. Membuatku kaget dan tak sengaja menjatuhkan barisan buku yang tadi kupegangi. Saat itu cowok itu ada di dekatku. Dia sempat melihat buku yang jatuh, kemudian melihatku. Tapi dia berlalu begitu saja.

Aku melongo dan dengan masih menatap heran, aku membereskan buku yang jatuh itu. Lumayan banyak pula.

"Genta, tolong kamu bantuin siswi yang jatuhin buku itu!" pinta petugas perpus kepada cowok itu.

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang