Dua Puluh Enam

1.6K 92 51
                                    

Aku berjalan melewati koridor rumah sakit dengan langkah yang kupercepat. Tadi aku tanya kepada suster, Rinai dirawat di ruang mawar nomor 12. Aku memandang tulisan di pintu pada setiap kamar yang kulewati, namun sejauh ini aku belum menemukan kamar mawar 12.

Aku mencoba mengeluarkan ponsel dengan kaki tetap melangkah, hingga tanpa kusadari aku hampir menabrak seorang laki-laki yang lewat di depanku. Aku menyenggol bahunya dan hampir membuatnya terjatuh. Aku meminta maaf dengan menangkupkan tangan di depan wajahku, dia hanya tersenyum dan berlalu.

Aku hanya melihat sekilas wajahnya. Namun begitu aku akan melanjutkan melangkah, aku menyadari sesuatu. Aku membalikan badan dan di depanku, dia berjalan dan hanya punggungnya yang bisa tertangkap mataku. Dia....

"Mbak Nimas!"

Aku kembali membalikan badan karena mendengar Mbak Ratna memanggilku. Dia baru kembali dari apotek dan tidak sengaja melihatku, kemudian dia segera mengajakku menuju kamar rawat Rinai. Sepanjang koridor menuju kamar rawat Rinai, Mbak Ratna menceritakan kronologi sakit DBD Rinai, namun pikiranku beralih ke tempat lain. Otakku masih sibuk merekam laki-laki tadi. Sungguh, laki-laki tadi benar-benar seperti dia. Iya, wajahnya, gurat rahangnya dan juga cara berjalannya benar-benar mirip dengan dia. Dan setelah kuingat-ingat dia juga memiliki punggung yang tidak jauh beda dengan punggung laki-laki tadi.

Oh, sudah berapa tahun dia pergi dari kehidupanku?

Dimanakah sekarang dia berada?

"Mbak Nimas!" saat aku masuk wajah kecil nan lucu itu langsung menyebut namaku dengan penuh keceriaan. Sepertinya selang infus yang ada di tangannya tak membuat keceriaan itu luntur.

Aku tersenyum dan segera mencium kening Rinai yang hangat. "Apa yang sakit, Sayang?"

Dia menyentuh kepalanya. "Sedikit pusing, Mbak," jawabnya. Namun wajahnya kembali sumringah, terlebih saat ia memamerkan miniature piano berwarna putih. "Kakak dokterku memberikan ini, katanya karena piano selalu menungguku untuk kumainkan," ceritanya dengan suaranya yang agak cempreng.

Aku memandang miniature piano yang dipegang Rinai. "Wah, bagus banget, Sayang."

"Ini bisa bunyi lho, Mbak," Rinai memencet tombol-tombol mungil yang ada di sana hingga mengeluarkan nada-nada mulai dari do sampai si. "Bagus banget kan, Mbak?"

"Iya."

"Oh ya, kakakku juga titip salam buat Mbak Nimas," ucapnya.

Aku menaikan alis. "Emang dia kenal sama Mbak Nimas?" tanyaku heran.

"Rinai dan ibu yang sering cerita ke kakak. Rinai bilang Rinai punya guru les piano, namanya Mbak Nimas Aulia. Orangnya cantik dan pintar menyanyi. Kata kakakku, dia salam buat Mbak Nimas yang cantik dan kapan-kapan minta ajarin main gitar," Rinai menjelaskan.

Aku tertawa lirih. "Ya udah salam balik buat kakaknya Rinai."

Rinai tertawa senang. Seperti baru saja mendapatkan hadiah. Aku membelai rambut gadis kecil itu dan memintanya untuk istirahat.

"Rinai mau istirahat tapi dengan satu syarat, Mbak Nimas harus menyanyi untuk Rinai."

"Lagu apa?"

"Lagu yang paling Mbak Nimas sukai."

Aku mengangguk dan mengambil napas untuk memulai menyanyi.

Aku ingin bicara pada bintang

Tentang rasa yang terpendam di dalam hati

Tentang dirimu yang telah mengukir kisah indah itu

Di dalam kenangan yang kan selalu abadi

Sahabat, tidakkah kau ingat apa yang sudah kita katakan pada bintang

Dua tahun yang lalu

Yang menjadikan angin sebagai saksi perjanjian itu

Yang membuat bulan bersembunyi malu di balik awan kelabu

Hanya ada satu bintang saat itu tapi aku yakin itu cukup

Untuk mengikat bahwa kita takan berpisah

Aku menyentuh mataku yang tahu-tahu sudah basah. Ingatanku berlarian ke kejadian beberapa tahun yang lalu, saat aku masih mengenakan seragam putih abu-abu dan menyanyikan lagu ini di depan dia. Semua sudah berlalu sekian lama, apakah dia masih mengingatku?

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang