"Kok bisa sampai babak belur gini sih, Za?" tanya mama dengan mengompres luka Mas Reza sebelum mengolesinya dengan obat luka. "Palingan kamu pernah buat salah sama dia sampe dia dendam banget," tambah mama yang langsung ditolak oleh Mas Reza.
"Nggak pernah, Ma. Kalaupun Reza marah itu karena dia nggak pernah ikut andil di dalam kelas," kata Mas Reza. "Tadi Reza itu lagi duduk bareng temen-temen yang lain dan dia tiba-tiba mukulin Reza."
Aku yang duduk di tepi sofa hanya memandangi mereka tanpa memberikan komentar. Bayanganku untuk bisa berbaikan dengan Genta kini hancur berkeping-keping.
"Bisa jadi dia marah karena Nimas," ucap Mas Reza tiba-tiba.
Aku memandang Mas Reza dengan tidak terima. "Kok gue sih Mas?"
"Gue liat waktu lo nungguin gue di pos satpam si manusia aneh itu bicara sama lo," ucap Mas Reza yang membuatku mendadak seperti maling yang ketahuan. Mama kini beralih memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kok jadi liatin Nimas gitu sih?" protesku.
Mas Reza menatapku dengan cukup tajam. Rasanya seperti ada puluhan paku di sana yang siap menyerangku. "Kalo sampe lo ada hubungan sama dja gue nggak akan tinggal diam," kata Mas Reza. Saat itu mama belum selesai mengobati luka Mas Reza tapi dia memilih meninggalkan mama yang masih memandangku.
"Emang nggak ada cowok lain selain yang benci sama kakakmu?" tanya mama.
Aku memandang mama, kemudian memilih meninggalkan mama. Aku naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Aku menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur dan memandang langit-langit kamarku. Apakah mencintai seseorang menjadi sebuah kesalahan hanya karena mencintai orang yang tidak tepat? Apakah mencintai Genta dengan posisinya yang membenci Mas Reza memang tidak tepat?
***
"Gila ya, gue nggak nyangka Bang Genta tega mukulin Bang Reza tanpa sebab apapun," saat aku masuk kelas itulah kata-kata yang menyambutku. "Emang psikopat kayaknya Bang Genta itu."
Aku menuju tempat dudukku dan meletakan tas di sana.
"Gue udah denger dari Kak Tia, katanya Bang Reza lagi ngobrol saat Bang Genta tiba-tiba narik kerahnya," kata Rara. Aku memandangnya dengan ekspresi datar. "Emang sinting kayaknya Bang Genta itu, muka udah kayak es terus anarkis lagi, terus keadaan Bang Reza sekarang gimana, Nim?" Rara bertanya.
"Dia nggak masuk sekolah. Masih butuh istirahat," jawabku.
"Bang Genta diskors ya?" kali ini Bila yang tanya.
"Katanya gitu," jawabku singkat.
"Jangan-jangan sebenernya dia yang bikin gosip kalo dia deket sama lo, Nim. Terus giliran lo menyangkalnya dia kesel dan mukulin Bang Reza," asumsi Bila.
Aku mengerutkan kening mendengarnya. Kenapa bisa ada pikiran seperti itu?
"Untung aja lo nggak beneran deket sama dia, Nim. Jauh-jauh deh dari manusia anarkis kayak gitu," kata Rara.
Aku terdiam. Memikirkan asumsi dari Bila. Memang, itu sangat merusak citra Genta tapi jika dipikir-pikir asumsi itu sangat masuk akal dengan apa yang terjadi sebelum Genta memukuli Mas Reza.
Dan ternyata asumsi itu yang muncul pada hampir semua obrolan tentang perkelahian Mas Reza dan Genta. Aku mendengarnya di kantin, di mushola, di perpustakaan sampai di toilet. Semua orang membicarakan Genta, Mas Reza dan aku dengan semua menyatakan Genta yang bersalah. Mereka semua bilang Genta hanya ingin memanfaatkanku. Genta ingin mendekatiku. Genta ingin menjadikanku alat balas dendam pada Mas Reza. Tapi karena semua itu gagal jadi Genta mukul Mas Reza.
"Untung lo nggak kena umpan dari Genta, Nim," dan itu kata-kata yang kudapatkan dari mereka semua.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya terdiam. Bagaimana caranya aku bisa mengatakan bahwa Genta bukan tersangka dalam permasalahan ini? Bagaimana caraku mengatakan bahwa sebenarnya akulah yang bersalah? Bagaimana caranya?
Pada saat-saat seperti ini aku merasa menjadi pengecut juara pertama. Aku tidak bisa membela Genta, bahkan ketika aku tahu Genta tidak sepenuhnya bersalah.
Lalu yang kulakukan adalah aku mendatangi panti asuhan tempat Genta tinggal dan Genta menemuiku begitu aku mengatakan mencari Genta pada anak panti.
Dia keluar dengan mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek. Begitu melihat kehadiranku dia langsung melengos.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Genta sinis.
Aku berusaha membuka mulutku tapi melihatnya seperti ini membuat mulutku mendadak kaku. Aku hanya merasakan mataku mulai memanas namun saat melihatku mulai berkaca-kaca Genta malah menyeringai benci.
"Kenapa lo nangis?" tanyanya dengan nada bicara yang benar-benar menyakitkan. "Setelah lo bilang lo nggak mungkin temenan sama gue sekarang lo ke sini, pake nangis segala, bener-bener nggak punya harga diri lo ya?"
Air mata kini berjatuhan tidak beraturan di pipiku. Aku berusaha agar tidak menangis, tapi air mata keluar begitu saja. Aku juga berusaha untuk menyeka air mataku, tapi air mata terus menetes.
"Gue goblok banget ya percaya sama lo, bahkan gue sampe bilang kalo gue cinta sama lo," katanya dengan miris. "Padahal lo cuma ngeprank ke gue, oke Genta lo udah kena prank," tambahnya. "Makasih, Nim," lanjutnya dengan meninggalkanku sendirian. Aku mengikutinya di belakang namun dia langsung menoleh. "Lo pergi dari kehidupan gue, nggak usah muncul-muncul di depan gue lagi," ucapnya dengan wajah penuh kegeraman.
Aku menghentikan langkahku dan mematung di sana. Air mata terus menetes di pipiku dan aku tidak bisa untuk menghentikannya. Aku ingin meminta maaf pada Genta tapi aku bahkan tidak bisa mengatakan apapun. Aku benar-benar tidak berguna.
Aku pulang setelah memesan ojek. Ketika aku memasuki ruang tengah mama cukup terkejut melihat keadaanku yang mengenaskan.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya mama.
Aku menaikan wajah. Tersenyum sebisaku. Berusaha menyembungikan keadaanku.
"Kenapa kamu nangis, Nim?" tanya mama dengan memandangku penuh kekhawatiran.
Aku ingin menahannya. Sungguh aku ingin menahannya. Tapi semakin aku ingin menahannya air mata semakin tertantang untuk menampakan diri. Aku terisak dan mama memelukku.
"Apakah salah jika mencintai orang yang tidak tepat, Ma?" tanyaku pelan. Sangat pelan. Sampai aku tidak yakin mama mendengarnya.
~~ selamat membaca, semoga kalian menyukainyaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Teen FictionSejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk di tempat tidur berlindung di bawah selimut saat hujan turun? Bukankah banyak orang yang menyeringai ketakutan saat petir menyambar yang sela...