"Hai, Kak," aku memberanikan diri menyapanya. Dia yang duduk di bangku paling belakang perpustakaan itu menoleh dengan tatapan dinginnya.
Melihat sorot matanya yang tajam itu membuatku bergidik.
Dia melihat ke arahku sekitar lima detik, kemudian ia kembali memfokuskan pandangannya ke buku yang sedang ia baca. Bersikap seolah tak ada siapapun di dekatnya.
Aku menelan ludah. Namun aku tidak boleh menyerah.
"Aku duduk di sini ya, Kak," ucapku. Kupandangi buku yang sedang dibaca cowok bernama Genta itu. Keningku berkerut begitu membaca 'Jaringan Sel' pada sampul buku itu. "Suka biologi ya, Kak?"
Dia masih tetap diam. Tangan kanannya sibuk membolak-balikan halaman buku.
"Ternyata di perpustakaan enak juga ya, adem," gumamku dengan terus memamerkan senyuman di depannya. Berharap agar dia berubah pikiran dan mau berbicara denganku. "Selain buku biologi, Kakak suka baca buku apa lagi?"
Dia tetap tidak bergeming. Kali ini aku mendesah kesal. "Ternyata bener ya kalo Kakak itu orangnya pendiem," dalam hati aku menambahkan 'dan menyebalkan'.
Tak kusangka dia menaikan wajahnya dan memandangku. Meski dengan pandangannya yang mengerikan itu, wajahku langsung berbinar. Ternyata usahaku tidak begitu sia-sia.
"Lo bisa pergi dari sini nggak?" ucapnya dengan memandangku. Sorot matanya itu seolah sanggup melenyapkan siapapun yang menatapnya.
Sekarang aku bisa mengerti kenapa dia tidak punya teman. Siapapun pasti malas berteman dengan orang yang akan menatapnya seperti itu. Tapi itu malah membuatku semakin kasihan dengannya. Pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Sesuatu yang menyakitkan mungkin. Pasti sangat menyakitkan memendam semua rasa sakit itu sendirian.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia menautkan alisnya. "Karena gue terganggu dengan kehadiran lo di sini."
"Bukan itu," sahutku. "Kenapa kamu menyembunyikan diri dengan bersikap seperti ini?"
Dia menatapku geram. "Maksud lo apa sih?"
"Kenapa kamu menampis semua orang yang ingin berteman dengan kamu?" tanyaku.
Dia tersenyum kecut, namun dua detik kemudian wajahnya kembali terlihat sangar. "Kalo lo nggak mau pergi, biar gue yang pergi," dia beranjak dari bangku dan pergi meninggalkan perpustakaan. Ia meninggalkan buku yang tadi dibacanya di atas meja. Aku meraihnya dan membawanya ke penjaga perpus untuk dipinjam.
***
"Bil, nanti beli bakso aja yuk!" ajak Rara.
"Bakso?"
"Iya, gue pengen banget ini."
"Ya udah. Tapi tanya Nimas dulu dia mau apa nggak."
"Nim, lo mau makan bakso nggak?" tanya Rara.
Aku yang sedang membaca buku 'Jaringan Sel' segera memandang Rara dan menggeleng. "Gue mau ke perpustakaan."
Rara memadangiku dengan heran. Kemudian dia melihat sampul buku yang sedang kubaca. "Lo pengen jadi ahli biologi, Nim?" tanyanya.
Dahiku berkerut.
"Jadi beneran lo nggak mau ke kantin?" tanya Rara lagi.
"Nggak. Gue mau ke perpus."
Bila dan Rara saling memandang, namun aku cepat-cepat beralasan. "Gue mau nyari bahan buat tugas makalah kimia yang dikasih kemarin."
Mereka berdua mengangguk. Begitu bel tanda istirahat berbunyi, mereka langsung bergegas ke kantin, sedangkan aku menuju perpustakaan. Aku membawa buku 'Jaringan Sel' yang hampir selesai kubaca. Tapi jangan tanya padaku apa isi buku tersebut, karena aku sendiri tidak mengerti. Kepalaku rasanya bisa meledak jika harus memahami isi buku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Menyatakan Cinta
JugendliteraturSejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk di tempat tidur berlindung di bawah selimut saat hujan turun? Bukankah banyak orang yang menyeringai ketakutan saat petir menyambar yang sela...