Aku memeriksa jarum-jarum yang berdenting di jam yang kulingkarkan di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya menunjuk angka sembilan dan jarum panjangnya hampir mencapai angka sepuluh. Aku sudah berada di depan kafe tempat aku membuat janji bersama Rara dan Bila.
"Nimas!" sorak Bila begitu melihat aku masuk melalui pintu kafe.
Aku berhambur ke arahnya dan memeluknya dengan perasaan rindu yang membuncah. "Gue kangen banget sama lo!"
"Kalo sama gue kangen nggak?" Rara merentangkan tangannya dan aku beralih memeluknya.
"Kalian sekarang banyak berubah."
"Jadi semakin tua."
Bila merogoh sesuatu dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Dateng ya!" ucapnya dengan memberikannya padaku dan Rara.
Sebuah undangan pernikahan. Aku memandang Bila dengan berbinar. Kubaca nama calon mempelai pria. Nugroho Aditya.
"Siapa Nugroho Aditya?" tanyaku.
Bila bersemu merah. "Dosen gue."
Aku menyentuh bibirku saking tidak menyangkanya. Rara memeluk Bila dengan agak berteriak histeris. "Nggak nyangka lo yang nikah duluan."
Bila masih tersenyum. Senyum tercerah yang pernah kulihat di wajahnya. "Lo kapan, Nim?" tanyanya.
Aku bengong. "Kok gue? Nggak tanya Rara?"
"Bila udah tau kok kalo gue udah punya calon," sahut Rara. "Jadi siapa calon lo, Nim?"
Aku terkekeh, lalu mengibaskan tangan di depan wajahku. "Selama ini gue nggak pernah mikirin itu, jadi ya belum ada."
"Serius?" mereka sepertinya tidak percaya.
Aku mengangguk penuh keyakinan. "Makanya doain gue semoga Allah mendekatkan jodoh ke gue."
"Aamiin."
Kami memesan makanan ringan dan minuman kesukaan masing-masing. Rara menceritakan pengalamannya berbisnis, Bila cerita tentang pekerjaannya saat ini dan perjalanan cintanya dengan calon suaminya. Sedangkan aku menceritakan tentang murid-muridku, keluargaku di rumah termasuk Mas Reza dan Mas Virza dan juga tentang pengalaman saat masih kuliah.
"Bang Virza mau punya anak?" tanya Rara.
Aku mengangguk dengan menyesap jus yang kupesan. "Iya. Mas Reza sekarang juga ada di Jakarta, kapan-kapan kalian harus main ke rumah."
"Bang Reza masih ganteng nggak?" tanya Rara yang langsung dicubit oleh Bila. "Lo itu udah punya calon suami masih aja godain Bang Reza," kata Bila.
Rara nyengir.
Bagiku pertemuan itu masih sangat sebentar, saat ponselku tiba-tiba berdering dan nama Mbak Ratna, ibu Rinai muncul di layar ponselku. Aku izin kepada dua sahabatku itu untuk mengangkatnya. Begitu kutempelkan ponsel ke telinga, terdengar sama dari Mbak Ratna.
"Waalaikumsallam... Rinai sakit?... Sakit apa, Mbak? ... Astaghfirullah... Iya, saya akan segera ke rumah sakit." Aku memutuskan sambungan telepon dan memandang kedua sahabatku. "Maaf, ada murid les piano gue yang sakit demam berdarah dan dirawat di rumah sakit. Ibunya tadi menelpon karena dia menanyakan gue terus. Gue harus ke sana sekarang, nggak apa-apa kan kalo gue pergi lebih dulu?"
"Nggak apa-apa, lagian gue masih di Jakarta kok."
"Iya, gue juga. Masih ada lain kesempatan. Temui aja murid lo itu, kasihan dia!"
Aku mencium pipi Rara dan Bila, kemudian melesat menuju rumah sakit dimana si kecil Rinai yang lucu itu dirawat. Baru beberapa hari yang lalu Rinai masih belajar piano dengan keceriaannya. Wajahnya menari-nari di ujung mataku. Semoga dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Teen FictionSejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk di tempat tidur berlindung di bawah selimut saat hujan turun? Bukankah banyak orang yang menyeringai ketakutan saat petir menyambar yang sela...