Aku memandang bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Cahayanya berkelap-kelip seolah menggoda siapapun yang memperhatikan mereka. Sedang di antara mereka, bulan purnama benderang dengan gagahnya.
Aku memetik gitar dengan sembarang dan tersenyum mengingat saat aku menyanyi di kamar Genta. Aku tersenyum semakin lebar saat mengingat wajah pucatnya tersenyum. Sebenarnya dia tidak begitu buruk jika tersenyum seperti itu. Apalagi saat dia mengatakan terima kasih dalam bahasa Inggris tadi siang, rasanya aku ingin mendengarnya berulang kali lagi.
Aku menggigit bibirku dengan senyuman terus merekah. Kenapa begitu menyenangkan mengingat itu semua?
"Woy!" tiba-tiba Mas Reza berteriak di depannya dan membuatku tersentak kaget.
"Mas Reza, lo mau liat adik lo mati karena serangan jantung?" pekikku.
"Lagian lo ngelamunin apa sih sampe senyum-senyum sendiri gitu? Bahkan lo sampe nggak denger waktu gue panggil."
"Kapan Mas Reza manggil gue?"
Mas Reza memukul aku dengan buku yang ada di tangannya. "Lo nggak dengerlah, orang lagi ngelamun. Lo ngelamunin apa sih?"
Aku membuang muka. "Siapa yang ngelamun?"
Mas Reza mendekatkan wajahnya ke wajahku dan menatapku dengan curiga. "Lo lagi jatuh cinta ya?"
Aku membulatkan mata, kemudian tertawa lepas. "Mas Reza kalo ngomong asal banget," sahutku dengan meninggalkan balkon dan masuk ke dalam rumah.
***
"Selamat pagi, teman-teman!" sapaku dengan merangkul mereka berdua.
Bila dan Rara memandangiku dengan tatapan aneh.
"Cerah banget lo pagi ini, Nim!" ucap Rara.
Aku nyengir. "Iya dong, kan setiap pagi emang harus diawali dengan penuh semangat. Yuk masuk!" aku menggandeng tangan mereka untuk masuk ke kelas. Aku duduk di bangku dan bersenandung menyanyikan lagu Berdua Lebih Baik.
Aku mengeluarkan buku dan pulpen, menuliskan sesuatu di sana dengan bibir terus menyunggingkan senyuman.
"Nim, lo kenapa?" tanya Bila dengan wajah khawatir.
Aku mengangkat alis dan tersenyum. "Emang kenapa dengan gue?"
Rara dan Bila saling berpandangan. Rara menempelkan tangannya ke keningku, namun segera aku menangkisnya dengan lembut. "Kalian kenapa sih?" tanyaku balik.
Bila dan Rara bengong berjamaah. Mereka kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Kayaknya lo perlu ke rumah sakit jiwa deh," seru Rara.
Aku menyeringai. "Emang lo pikir gue gila?" sahutku dengan cuek. Aku kembali memfokuskan diri ke buku yang ada di atas meja. Beberapa saat setelah bel masuk dibunyikan, Bu Santi masuk dan memulai pelajaran matematika. Bu Santi meminta salah satu dari kami mengerjakan PR yang minggu lalu beliau berikan.
Aku mengangkat tangan kanan dan Bu Santi memintaku segera menuliskan jawabanku di papan tulis.
Rara dan Bila memandangku dengan heran saat aku kembali ke bangku.
"Nggak biasanya lo mau mau ngerjain, Nim. Lo baik-baik aja kan?" tanya Rara dengan berbisik di telingaku.
Aku mengangguk tanpa perlu memandangnya.
Aku memperhatikan Bu Santi yang menjelaskan tentang jawaban dari soal kemarin. Ternyata jawaban yang kutuliskan salah, aku tersenyum malu. Pelajaran diakhiri dengan pemberian PR lagi. Hanya sebuah keajaiban yang bisa membuat Bu Santi tidak memberikan PR. Begitu Bu Santi keluar dan Bel istirahat dibunyikan, Rara dan Bila menarik lenganku, membawaku ke kantin.
Mereka memintaku duduk di bangku paling dekat pintu masuk kantin.
"Kalian kenapa sih?" tanyaku saat mereka menatapku dengan curiga.
"Elo itu yang kenapa," sahut Bila. "Sejak acara pementasan dua hari yang lalu lo jadi aneh banget. Lo baik-baik aja kan?" tanyanya.
Aku terkekeh. "Aneh apanya? Gue baik-baik aja, malah lebih baik dari sebelumnya."
Rara melihatku dengan tidak percaya. "Pasti ada yang nggak lo ceritain ke kita? Jangan-jangan tentang Bang Yogas," katanya. Dia menyebutkan Kak Yogas dengan Bang, pasti alasannya sama seperti sebelumnya. Bang lebih romantis dibandingkan kak.
Aku bengong mendengarnya. "Kak Yogas?"
"Lo lagi jatuh cinta ya?" tanya Rara yang persis seperti orang yang mengintrogasi.
Aku tertawa mendengarnya. Kenapa semua orang jadi menyebutkan dua kata itu sih? Jatuh cinta.
"Eh, Genta!" seru Bila.
Aku terperanjat mendengarnya. Jantungku seketika berdetak puluhan kali lebih cepat dari biasanya atau mungkin ratusan kali? Mataku sudah membelalak dengan sempurna, bagaimana Bila bisa tahu?
"Iya, bukankah itu Genta yang berantem sama Bang Reza ya?" ucap Rara membuat detak jantungku semakin tidak karuan. Kenapa semua jadi menyebut nama Genta sih?
"Nim, itu Genta kan?" Rara memintaku memutar kepala ke pintu dan aku hampir tersentak melihat sosok itu ada di depanku.
Tubuhku entah kenapa terasa kaku dan pipiku rasanya lebih panas dari biasanya.
Genta menaikan alisnya sebelah dan berlalu melewatiku.
"Sebenarnya dia ganteng ya, tapi mukanya nggak ngenakin banget," seru Rara.
"Jangan keras-keras, Ra. Nanti orangnya denger," sahut Bila.
Aku mengedipkan mataku berulang kali. Kenapa aku mendadak gugup seperti ini?
"Eh Nim, bukannya lo pernah ngikuti dia ya? Berarti kalian saling kenal?" tanya Bila.
Aku menoleh ke Bila, lalu tersenyum kaku.
"Terus dia orangnya gimana?" tanya Rara kepo.
Aku memutar kepalaku dengan hati-hati ke arah Genta. Dia tampak sedang menyantap nasi soto yang ada di depannya. Seperti menyadari aku sedang melihatnya, tiba-tiba dia melihat ke belakang dan mata kami bertemu.
Mampus gue!
Aku menggaruk kepalaku yang tertutup jilbab meski tidak gatal, aku ingin menyudahi semua perasaan nggak mengenakan ini, tapi aku masih ingin tetap di sini. Melihat Genta yang nggak biasanya ada di kantin dan aku berharap bisa mengobrol dengannya seperti ketika di panti.
"Benar nggak sih kalo Genta itu anti punya temen?" tanya Rara setengah berbisik.
Aku hanya mengangguk.
"Ra, kalo lo penasaran sama dia, lo tanya aja sendiri," seru Bila.
Rara memandangi Genta yang hanya tampak punggungnya karena dia duduk membelakangi kami. "Dari punggungnya aja dia keliatan ganteng lho. Tapi karena rumornya dia itu galaknya minta ampun, jadi gue nggak mau bunuh diri dengan bertanya ke dia."
Aku ikut memandang Genta seperti yang dilakukan Rara. Perlahan, aku merasakan desiran halus yang menyelusup ke dalam hatiku. Membuat dadaku terasa menjadi tidak karuan, namun di balik itu semua ada rasa bahagia yang ikut hadir bersamanya.
"Jangan liatin kayak gitu, Nim!" tegur Bila.
"Iya, nanti lo jatuh cinta sama dia," tambah Rara.
Aku mengalihkan pandangan dengan cepat, mataku sedikit membulat. Kupandang dua sahabatku itu dengan tertawa kaku.
"Jatuh cinta? Nggak mungkinlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Teen FictionSejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk di tempat tidur berlindung di bawah selimut saat hujan turun? Bukankah banyak orang yang menyeringai ketakutan saat petir menyambar yang sela...