Dua Puluh

3K 162 1
                                    

Mana yang lebih baik, jujur terhadap perasaan sendiri namun menyakiti orang yang kamu sayangi atau berbohong tentang perasaan sendiri dan menyakiti orang yang kita sukai? Aku tidak punya pilihan yang bisa kupilih. Aku menyukai Genta. Ya, aku menyukainya. Bahkan sepertinya mencintainya. Tapi aku tidak ingin menyakiti Mas Reza. Karena itu aku juga menahan perasaanku dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Aku pernah berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf pada Genta tapi setelah semua itu terjadi, aku tidak tahu harus bagaimana.

"Kok gue merasa ada sesuatu yang Genta rencanakan dengan tiba-tiba mengatakan cinta ke elo ya, Nim?" ujar Rara pada hari ketiga UAS. Kami sedang berada di kantin. Meninggalkan kelas setelah waktu mengerjakan soal selesai adalah cara yang paling ampuh untuk menghindar dari Genta.

"Gue juga berpikiran gitu," tambah Bila yang membuatku menyipitkan mata.

"Maksud kalian apa?" tanyaku.

"Gini ya, Genta itu bukan jenis manusia yang blak-blakan dan mau mengakui perasaannya kayak dua hari yang lalu, jadi gue merasa dia merencanakan sesuatu," Rara menjelaskan.

Aku berdecak, "kalian jangan buat gue mikir yang enggak-enggak."

"Ya kita nggak bermaksud gitu tapi aneh aja nggak sih tiba-tiba Genta mengungkapkan gitu di tengah lapangan setelah sebelumnya benci banget sama lo," tambah Bila yang membuat pikiranku semakin terbang kemana-mana.

Asumsi Rara dan Bila, ternyata juga dipikirkan oleh Mas Virza. Dia masuk ke kamarku dan mengatakan hal yang sama seperti dikatakan Rara dan Bila. Aku kepikiran. Tapi aku tidak bisa menanyakannya langsung pada Genta. Bahkan aku tidak bisa memberikan jawaban atas perasaannya padaku. Aku tidak menerimanya, ataupun menolaknya. Aku tidak mungkin menerimanya dengan ancaman Mas Reza waktu itu dan aku tidak ingin menolaknya seperti waktu itu. Aku tidak ingin menyakitinya.

"Mana yang lebih baik Mas? Jujur tapi menyakiti Mas Reza atau gue bohong dan menyakiti Genta?" tanyaku pada Mas Virza.

Mas Virza memandangku. "Di antara mereka lo lebih sanggup kehilangan yang mana?" Mas Virza balik bertanya. Pertanyaan dari Mas Virza terus muncul di otakku dan pada akhirnya membuatku terus menghindari Genta sampai UAS berakhir. Aku menghindari Genta selama satu minggu lebih.

Pada hari terakhir UAS, Genta menghampiriku yang baru masuk ke kelas dan memberiku payung lipat. Aku memandangnya dengan heran dan kulihat dia tersenyum.

"Semoga lo bisa melalui musim hujan dengan baik," ucapnya. Dia lalu kembali ke bangkunya. Aku sempat memandangnya lama setelah duduk di bangkuku, namun dia tidak mengatakan apa-apa.

Itulah hari terakhir aku menatapnya. Terakhir dia menatapku. Setelah UAS berakhir semua sibuk dengan urusan masing-masing. Kami sibuk dengan remidial agar bisa memenuhi nilai KKM. Kami juga sibuk mempersiapkan untuk acara class meeting yang diadakan di sekolah.

Aku hanya melihat Genta satu kali sejak hari itu. Aku melihat dia masuk ke ruang guru dan dia tampak sangat sibuk. Aku tidak tahu apakah pilihanku untuk tidak mengatakan apa-apa memang benar atau sebenarnya memang aku tidak pernah punya pilihan? Aku tidak mungkin memilih kehilangan Mas Reza. Dia kakakku dan dia lebih dahulu muncul di hidupku.

Semua berjalan dengan membosankan. Aku menghabiskan hari-hariku dengan berangkat bersama dua kakakku, bertemu Rara dan Bila, pulang bersama dua kakakku lagi. Semua sangat membosankan. Sampai dua hari sebelum pembagian rapor, kami mendapatkan pesan di ponsel masing-masing. Pesan yang di dalamnya memuat gambar dua anak laki-laki sekitar umur 9 tahun. Mereka saling bergandengan tangan dan aku bisa mengenali salah satu anak di foto itu. Itu Mas Reza. Tapi siapa anak satunya?

Aku membuka link yang ditautkan di bawah foto itu dan link mengarahkan ke postingan di Instagram dan aku cukup terkejut dengan nama akun yang memposting foto tersebut. Genta Putra Rahmadi. Itu nama lengkap Genta.

Aku lebih terkejut saat membaca caption yang ia tulis di bawah foto yang ia unggah.

"Namanya Reza Zulfi Narendra, teman yang gue kenal saat mengikuti bimbel di dekat tempat kerja Papa yang baru. Dia selalu memanggil gue dengan Tata dan kami sering menghabiskan waktu bersama, sampai ketika Papa dituduh menggelapkan dana dan menjadi tersangka korupsi, dia yang gue pikir akan tetep berada di samping gue justru menjadi orang yang paling tidak percaya sama gue. Dia menjauh. Dia membencik gue. Dia bahkan melabeli gue sebagai anak koruptor dan membuat gue tidak lagi betah berada di tempat bimbel. Lalu, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kami kembali satu kelas dan hebatnya dia tidak mengenali gue. Ah, Reza, semudah itukah lo lupa sama gue?"

Aku tercekat membaca postingan dari Genta dan aku teringat cerita-cerita dia tentang masa kecilnya, termasuk teman satu tempat bimbel yang ternyata adalah Mas Reza. Aku segera keluar dari kelas dan berlari menuju kelas Mas Reza dan juga kelas Genta. Dengan pengakuan dari Genta seperti ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Untuk itu aku harus menemui mereka berdua.

Saat aku masuk ke kelas, Mas Reza sedang menatap layar ponselnya dan teman-teman di kelasnya sedang menatapnya.

Dia melihat kedatanganku dan memandangku. "Lo udah baca?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Lo beneran punya temen bernama Tata?" tanyaku. Semua mata yang ada di kelas itu juga memandang Mas Reza. Mereka sama sepertiku, penasaran dengan cerita dari sisi Mas Reza.

Dan Mas Reza menganggukan kepala.

Aku memandang Mas Reza dengan tidak percaya. "Kok lo bisa nggak kenalin dia sih Mas? Sebodoh itu lo ya?" ucapku dengan emosi. Sumpah aku heran dengan Mas Reza. Aku saja masih bisa mengenali temanku saat TK, dia bisa gitu nggak mengenali teman SD dia?

"Ya gue pikir dia cuma mirip aja," jawab Mas Reza.

Aku mendengus kesal dan kupandangan seisi kelas itu. "Terus Kak Genta sekarang dimana?" tanyaku.

Mas Reza menaikan pandangan dan memandangku dengan mata yang tampak kosong. "Tadi Bu Mega, wali kelas gue bilang kalo Genta pindah sekolah," jawabnya.

Aku tercekat mendengarnya. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulut Mas Reza seakan membuat dunia jadi hampa udara. Aku memandang Mas Reza dengan tidak percaya. "Nggak mungkin, Mas. Gimana bisa dia pindah sekolah?" tanyaku.

"Dia kehilangan beasiswa dia dan akhirnya dia ikut keluarganya," jawab Mas Reza dengan suara penuh rasa bersalah.

Aku menggeleng-gelengkan kepala menolak apa yang dikatakan Mas Reza. Aku menatap Mas Reza dan berharap dia akan mengatakan yang sebaliknya. Genta tidak pergi. Genta masih ada di sekolah ini. Mungkin  hari ini dia tidak masuk, tapi dia akan datang besok.

"Dia pindah gara-gara gue, Nim. Sama kayak di tempat bimbel dulu, dia keluar gara-gara gue," tambah Mas Reza yang sama sekali tidak membuat perasaanku jadi lebih baik. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan rasa hancur seketika menerjangi hatiku. Aku menyentuh lengan Mas Reza dan mencengkeramnya cukup kuat.

"Terus gimana sama gue, Mas? Gue nggak mau kehilangan Genta, Mas," ucapku dengan air mata yang perlahan mengalir di pipiku. Aku menundukan wajah dan membiarkan air mata kembali mengalir bebas dari pelupuh mataku. "Gue harus gimana, Mas?"


Goodbye, Genta!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Goodbye, Genta!

~~ semoga kalian menikmatinya yaaaa!!! Selamat membaca

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang