Tiga Puluh Dua

446 36 14
                                    

Hari pernikahan Bila.

Aku turun dari mobil bersamaan dengan Mas Reza, Mbak Nadia dan juga Mas Virza yang kebetulan berangkat bareng. Aku merapikan dress panjang berwarna navi dan jilbab pashmina warna abu-abu yang tadi agak berantakan saat berada di mobil. Bersama dengan kakak kembarku dan kakak iparku yang sedang hamil muda, aku masuk ke gedung resepsi pernikahan yang lumayan mewah itu.

Di depan gedung puluhan papan bunga berjajar dengan bertuliskan nama kedua mempelai. Aku menyerahkan kado yang kubawa ke penerima tamu dan memasang mataku ke sekeliling gedung, siapa tahu ketemu sama teman SMA.

"Hai!" tiba-tiba dari tempat makanan di hidangkan Rara berteriak dan di belakangnya seorang laki-laki mengikutinya. Rara tampil cantik dengan jilbab warna pink. Dia mencium pipi kanan dan kiriku dan menyalami kakak-kakakku. "Kenalkan ini calon suami gue," ucap Rara.

Laki-laki itu menangkupkan tangannya di depan dada. "Ikhsan."

"Nimas, saya teman SMA Rara dan ini kakak-kakak saya," aku memperkenal-kan diri diikuti oleh kakak-kakakku.

"Lo udah ketemu sama Bila belum?" tanya Rara.

Aku menggeleng.

"Ya udah lebih baik langsung ke pelaminan!"

Aku memeriksa jam tangan dan menengok ke belakang. Mencari Genta yang tadi mengatakan lagi OTW saat kuhubungi. Rara tampak bingung melihatku yang sedang mencari seseorang.

"Lo lagi nunggu seseorang ya?" akhirnya Rara bertanya.

"Iya," jawabku. "Kalian ke sana aja dulu, nanti gue nyusul," ucapku. Mereka menurut, melakukan seperti yang kukatakan. Bersama dengan Rara dan calon suaminya, kakak-kakakku menuju pelaminan dimana Bila dan suaminya sedang bersanding. Baru setelah hampir lima menit menunggu, Genta muncul dan menghampiriku. "Kok lama sih?" tanyaku setengah protes.

Genta tersenyum. "Maaf, tadi macet."

"Kakak-kakakku dan Bila udah menemui pengantin lebih dulu."

"Ya udah kita ke sana."

Aku berjalan di samping Genta dan laki-laki itu berbagi ceritanya di rumah sakit setelah aku bertanya. Dia bercerita banyak hal, termasuk dia yang semalam tidur di rumah sakit karena menjadi dokter jaga. Aku mendesah. "Berarti kalo nanti kita menikah aku harus siap di rumah sendirian dong."

"Itu kan sudah risiko."

Aku tersenyum. "Bagaimana jika nanti aku membantu kamu menghibur pasien-pasien kamu dengan bermain musik di rumah sakit?" tiba-tiba ide itu muncul di kepalaku. "Nanti aku main gitar di depan mereka, yah, siapa tahu dengan begitu mereka sedikit melupakan rasa sakit mereka."

Genta mengangguk-angguk tanda setuju. "Boleh-boleh."

Aku tersenyum senang. Begitu kami sampai di pelaminan, kami langsung mendapat tatapan heran dari Rara dan Bila.

"Bukannya dia Genta?" tanya Bila.

Yang disebut namanya tersenyum dan menyapa mereka.

"Jadi yang lo tunggu itu Genta?" kali ini Rara yang bertanya. Dengan tatapan heran.

Aku mengangguk. "Kalian liat Genta kayak liat alien yang baru turun di bumi aja," sahutku.

"Ya..." Rara akan menjelaskan, tapi menggantung.

Mas Reza maju dan merangku pundak Genta. "Karena masalah kami berdua waktu SMA?" tanyanya membuat Rara dan Bila semakin bingung. Mungkin di pikiran mereka bertanya, kok bisa akur?

"Kalian udah damai ya?" tanya Bila yang memakai kebaya berwarna putih dengan penasaran.

"Iya, nggak nyangka deh bisa liat Bang Reza dan Bang Genta akur," tambah Rara.

Genta kembali tersenyum, kemudian dia memandang Mas Reza yang masih merangkul bahunya. "Iyalah, kan Reza sebentar lagi akan jadi kakak ipar gue."

Mulut mereka reflex membulat dan mengatakan "Ooo" secara bersamaan, namun begitu mereka menyadari kalimat Genta barusan, mata mereka terbelalak.

"Maksudnya jadi kakak ipar?"

"Reza jadi kakak ipar Genta?"

Aku tersenyum santai dan mengeluarkan undangan yang ada di dalam tas. Kemudian memberikannya kepada Rara dan Bila. Mereka tercekat begitu membaca namaku dan nama Genta tertulis di sana sebagai calon mempelai.

"Lo nikah sama Genta?"

"Kok bisa, Nim?"

"Nanti gue ceritain, panjang ceritanya, gue mau ucapin selamat kepada dua mempelai hari ini," aku segera menyalami Bila dan mencium pipinya seraya mengucapkan selamat kepadanya. "Dari kita bertiga ternyata Bila yang paling tenang yang nikah duluan..."

"Gue masih belum percaya lo bakalan nikah sama Genta," sahut Bila.

"Nanti kalo kita kumpul-kumpul bareng gue ceritain secara lengkap dan detail, oke?" aku berganti mengucapkan selamat ke suami Bila dan memintanya untuk menjaga Bila dengan baik.

Setelah itu giliran Genta yang memberikan selamat.

"Terima kasih sudah menjadi teman yang baik buat Nimas," ucap Genta yang langsung membuat Bila bengong. Mungkin dia tidak menyangka akan mendapatkan ucapan seperti itu dari cowok yang terkenal paling dingin di sekolah.

Aku membiarkan teman-temanku terus bingung dan menerka-nerka sendiri tentang hubunganku dan Genta yang sebenarnya. Aku mengajak kakak-kakakku untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan di acara pernikahan ini.

Aku duduk di salah satu kursi yang ada di sana, kemudian Genta menyusul duduk di sampingku. Aku memandang Bila yang tampak sangat bahagia hari ini. Dia beberapa kali memandang pengantin laki-lakinya dan tersenyum lebar. Senyuman terindah yang pernah kulihat di wajahnya.

Beberapa minggu lagi aku juga akan mengalaminya. Duduk di pelaminan bersama laki-laki yang saat ini ada di sampingku. Laki-laki yang telah memperkenalkanku pada hujan dan membuatku jatuh cinta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang