Banyak hal yang berubah dengan pelan-pelan. Suasana hatiku, pikiranku dan bagiku dunia terasa sempit setelah pulang dari panti asuhan. Atap kamarku yang beberapa hari yang lalu tampak begitu indah, kini hanya memantulkan wajah Genta dengan tatapan dinginnya.
Semua terasa menyesakkan. Bahkan dalam mimpi aku dikejar-kejar oleh rasa bersalah. Tidak seharusnya aku menanyakan hal itu kepadanya. Tidak seharusnya aku banyak omong dan bertanya seperti itu. Bagaimana jika Genta membenciku? Bagaimana jika Genta kembali ketus seperti dulu? Bagaimana jika....
Aku menggigit bibirku.
"Lo kenapa, Nim?" Mas Reza tahu-tahu sudah ada di sampingku seperti biasanya. "Biasanya senyum-senyum sendiri, sekarang melamun dengan muka melankolis gitu, patah hati ya?"
"Diem lo, Mas."
"Galak banget lo sekarang."
Aku memandang Mas Reza dengan kesal. "Gue lagi bad mood," ucapku dengan memanyunkan bibir.
Mas Reza duduk di kursi yang ada di sampingku. Ikut memandang langit malam yang sebenarnya sedari tadi tidak kulirik. "Kalo gue mungkin besok gue bad moodnya," katanya.
Aku tertawa. "Mana ada bad mood direncanain."
Dia mendesah. "Setengah bulan lagi ada acara camping di gunung gitu dan guru nggak akan menyetujui kalo ada satu yang nggak ikut. Nah, pasti si Genta itu bakal nolak ikut kayak tahun kemarin. Padahal ini tahun terakhir kami bareng-bareng," cerita Mas Reza.
Aku memandang Mas Reza. Dia beberapa kali menarik napas dan menghembus-kannya perlahan.
"Gue capek sama Genta, dia susah banget kalo diajak kerja sama. Bahkan kami sekelas pernah buat kesepakatan buat nggak nganggep Genta, tapi dia nggak gentar sama sekali. Benar-benar orang yang egois," lanjutnya.
Genta tidak seperti itu. Rasanya aku ingin sekali menyelanya, tapi kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongan.
Mas Reza memandangku. "Siap-siap ya besok kalo lo harus kena akibat dari bad mood gue."
Aku menyeringai. "Ogah amat, kenapa harus gue yang kena dampaknya?"
Dia kembali mendesah. "Nggak mungkin kan gue berantem sama dia lagi, bisa-bisa dia lagi yang kena akibatnya."
"Emang harus ya dapet persetujuan guru? Gimana misalnya kalo ngadain sendiri?"
"Masalahnya orang tua siswa nggak akan mengizinkan kalo tanpa surat persetujuan dari guru."
Aku mengangguk-anggukan kepala. Ya, solusi satu-satunya adalah dengan membuat Genta setuju dengan acara itu. Tapi kuakui, mendapatkan persetujuan dari orang seperti Genta memang agak sulit. Apalagi untuk orang normal yang tidak kebal dengan sikap Genta yang dingin itu.
Aku ikut mendesah. Kupandang bintang yang berkelap-kelip di sekitar awan. Genta, kira-kira sedang apakah dirinya? Kira-kira apakah dia bisa mengerti perasaan orang lain?
***
"Nim, lo udah ngerjain tugas bahasa Indonesia?" tanya Bila.
Aku menggeleng.
"Tugas yang menentukan unsure intrinsic dalam novel ya?" nimbrung Rara.
"Iya, lo udah ngerjain, Ra?" tanya Bila.
"Belum. Ke perpus aja yuk!"
"Gue juga rencananya mau ke perpus."
Aku yang saat itu masih membaca novel yang akan kugunakan untuk menentukan unsure intrinsic itu langsung menjatuhkan novel dan memandang Rara dan Bila dengan menggelengkan kepala. "Jangan ke perpus!"
Rara mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Iya, biasanya lo yang paling seneng ke perpus."
Aku terdiam. Bagaimana pula aku harus menjelaskannya? Tidak mungkin kan aku katakan ke mereka bahwa aku takut ke perpus karena biasanya Genta ada di sana dan jika aku ke sana pasti akan bertemu Genta, sedangkan aku tidak bisa bertemu dengan Genta.
"Ngumpulnya lusa lho, Nim," ujar Bila.
"Iya, lagian emang ada apa dengan perpus?"
Mereka semakin memandang curiga kepadaku. Akhirnya aku menyerah. "Ya udah." Aku tidak ingin mereka menyimpan lebih banyak pertanyaan.
Pagi itu udara di sekitar sekolah sangat menyenangkan. Tidak panas, tidak juga dingin. Awan menggumpal di langit, namun tidak ada tanda-tanda akan hujan, alias hanya awan keabu-abuan yang ada di sana. Matahari berada di balik awan-awan itu dan angin berhembus dengan perlahan. Benar-benar cuaca yang menyenangkan.
Aku, Rara dan Bila langsung menuju perpustaan dengan membawa buku bahasa Indonesia. Katanya, Rara dan Bila akan langsung mengerjakannya di perpustakaan karena besok mereka mau mengerjakan tugas kimia yang jauh lebih banyak. Sedangkan aku ikut mereka saja.
Aku berjalan dengan mata mengawasi sekelilingku. Takut jika tiba-tiba Genta ada di sampingku dan membuat jantungku meledak.
Kami masuk ke perpus dan tempat pertama yang kulihat adalah bangku paling belakang dimana biasanya Genta duduk di sana. Yes, tidak ada! Dalam hati aku bersorak riang. Aku sebenarnya bingung kenapa tidak ingin bertemu dengan Genta, padahal aku sudah minta maaf saat itu. Hanya saja ada banyak perasaan yang tidak bisa kujelaskan, perasaan yang menghadiahkan banyak kata 'bagaimana'.
"Duduk di sini ya!" Rara meletakan buku di bangku nomor dua dari depan.
"Gue nyari bukunya dulu," sahut Bila.
Aku mengikuti Bila, namun di tempat yang berbeda. Bila mencari bagian novel yang ada di rak dengan nomor D3, sedangkan aku mencari buku cetak bahasa Indonesia yang ada di rak A6. Aku memilah satu per satu buku yang ada di bawah tulisan Bahasa Indonesia itu. Mencari buku untuk kelas 10 dan juga mencari buku yang isinya sesuai dengan yang kubutuhkan.
Aku menarik buku bahasa Indonesia dengan sampul berwarna biru, namun seseorang ikut menariknya dan membuat buku tersebut jatuh ke lantai.
Aku akan memungutnya, namun orang itu sudah memungutnya terlebih dahulu dan menyerahkannya padaku.
"Maaf untuk kemarin, nggak seharusnya gue ngomong kasar gitu ke lo," ucapnya dengan wajah tenang.
Mataku sudah membelalak dengan sempurna ketika menangkap sosok itu di depanku. Jangan tanya jantungku, rasanya seperti meledak. Terlebih dengan sinar matanya itu, membuat duniaku seolah berhenti seketika.
Aku membuka bibirku, namun tak sepatah kata keluar dari sana. Aku mencoba melakukannya lagi, namun lidahku terasa kelu.
Tiba-tiba dia tersenyum. Dan seperti ada sesuatu yang menetes di hatiku.
"Terima kasih sudah menjadi temen gue," ucapnya.
Aku menelan ludah dengan berat. Apakah aku tidak salah dengar?
Genta memandangku dengan bingung, dia bahkan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku terkesiap dan memandangnya dengan salah tingkah, untung saja tiba-tiba ponselku bergetar. Jadi aku punya tempat untuk mengalihkan perhatian.
Gue nggak jadi bad mood. Genta setuju dengan acara camping itu.
Aku tersenyum setelah membacanya. Kulihat Genta sudah berjalan menuju rak buku bagian C1, namun dia sempat menoleh ke belakang dan tersenyum padaku. Aku tersenyum semakin lebar. Bunga-bunga itu kembali bermekaran di hatiku.
"Lo kok lama banget sih, Nim?" kata Rara yang sudah ada di sampingku.
Aku menoleh.
"Bukannya itu Genta?" tanyanya setelah melihat punggung Genta yang semakin menjauh. Rara tersenyum. "Punggung dia benar-benar keren."
Aku melongo, lalu buru-buru melesat ke bangku dengan buku yang sudah ada di tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Menyatakan Cinta
Fiksi RemajaSejak kecil aku tidak menyukai hujan. Bagiku hujan itu menyebalkan. Bukankah banyak orang memilih meringkuk di tempat tidur berlindung di bawah selimut saat hujan turun? Bukankah banyak orang yang menyeringai ketakutan saat petir menyambar yang sela...