CHAPTER 3 ◆ What Is The Fate Of Their Band?

309 7 7
                                    

          BARU saja Olivia, Emily dan Sharon keluar dari dalam mobil, jepretan kamera paparazzi langsung menghujam ketiganya secara bertubi-tubi. Beberapa bodyguard dengan sigap melindungi mereka dari kepungan paparazzi yang hendak mengambil gambar mereka secara dekat. Sudah beberapa minggu ini mereka terus menghindar dari kejaran media massa yang tak hentinya memberitakan perihal kasus Ivy yang saat ini masuk ke dalam rehabilitasi akibat penggunaan obat-obatan terlarang.

          Olivia meringis di dalam hati memikirkan nasib band mereka yang kini tak memiliki seorang vokalis. Di tambah lagi dengan kasus Ivy membuat Rebel Angel disorot bukan karena prestasi melainkan berita tidak menyenangkan.

          Langkah mereka bertiga tampak berburu-buru memasuki salah satu butik terkenal milik ibu Emily yang merupakan seorang desainer kenamaan. Beberapa pramuniaga di butik tersebut dengan sigap melayani ketiganya. Mrs. Cooper—ibu Emily—menghampiri mereka dengan wajah sumringah.

          “Hey, Ladies.” Mrs. Cooper memeluk mereka satu persatu. “Bagaimana hari kalian?”

          “Seperti biasa, selalu menjadi buruan paparazzi.” sahut Sharon dengan nada muak. Mrs. Cooper sampai tergelak mendengarnya.

          “Begitulah jika menjadi seorang bintang ternama. Semua orang selalu ingin tahu beritamu sampai ke hal yang tidak penting.” kata Mrs. Cooper seraya matanya lalu melirik Emily. “Aku ingin berbicara sesuatu denganmu.” Ia kembali melirik Olivia dan Sharon. “Berbelanjalah. Aku pinjam Emily dulu.”

          “Oke, baiklah.” Olivia mengangguk.

          Mrs. Cooper menggandeng lengan Emily untuk menuju ke ruang kerjanya. Sharon mulai menyibukkan dirinya memilih berbagai macam pakaian sedangkan Olivia lebih memilih menuju ke bagian deretan sepatu. Pikiran Olivia saat ini sedang bercabang kemana-mana—terus memikirkan nasib band-nya. Mencari pengganti Ivy bukanlah suatu perkara yang mudah. Ivy memiliki ciri khas yang tak akan sama dengan vokalis lain di luar sana. Suara serak dan dalam milik Ivy ketika bernyanyi merupakan identitas dari Rebel Angel.

          “Olivia, menurutmu yang mana yang bagus untukku?” Suara mengejutkan Sharon membuyarkan pikiran Olivia yang bercabang. Ia memperlihatkan dua baju pilihannya dengan warna yang berbeda.

          “Semuanya jelek.” sahut Olivia dengan acuh tak acuh. Mendadak saja Sharon mendengus pelan mendengarnya.

          “Tidak ada gunanya aku bertanya padamu.” kata Sharon dengan ketus. Ia melirik salah satu pramuniaga wanita yang sejak tadi mengikuti untuk membantunya memilih baju, lalu melenggang pergi ke sisi lain butik.

          Olivia kemudian melangkah menuju ke arah Sharon yang masih sibuk memilih pakaiannya. Dia ikut memilih salah satu pakaian yang cukup menarik perhatiannya. Tak lama kemudian Emily muncul dan segera bergabung dengan keduanya yang sedang sibuk berbelanja.

          Ketika selesai dengan sesi berbelanja, mereka memutuskan kembali ke penthouse mewah milik mereka yang berada di kawasan elit di kota London. Ketiganya hanya duduk termenung di sofa dengan ditemani makanan ringan dan anggur di atas meja kopi di hadapan mereka. Suasana di dalam penthouse ini terasa begitu estetika dengan desain interior yang modern. Beberapa penghargaan terpajang di lemari kaca khusus, kemudian foto-foto dibingkai indah serta ditempel di dinding ruangan bersamaan dengan lukisan abstrak dan bernuansa gothic.

          “Aku tidak mau menonton televisi.” gumam Sharon seraya sesekali menyuapi makanan ringan berupa keripik kentang ke dalam mulutnya.

          Sharon memiliki alasan tersendiri kenapa dia akhir-akhir ini malas menonton televisi. Ini karena berita tentang Rebel Angel yang selalu menghiasi layar kaca dan itu membuatnya muak.

Rebel AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang