Leicester, 1999
Liam berlari diantara lorong-lorong sekolahnya, menghindari kejaran teman-teman seumurannya. Ia tidak pernah mengerti kenapa semua orang di sekolahnya ini selalu membully dirinya. Sudah berulang kali ia memohon, memelas, meminta supaya mereka berhenti menjadikan dirinya sebagai target cemoohan tapi semuanya dianggap seperti angin lalu saja.
Di usianya yang sudah 10 tahun, ia tidak memiliki seorang teman. Tidak pernah sejak ia kecil. Ia selalu sebatang kara disekolahnya ini. Liam memang memiliki tubuh yang kecil, lensa kacamatanya bahkan lebih besar dibanding lensa kaca pembesar sekalipun. Di bagian depan wajahnya terdapat banyak freckle yang membuatnya semakin terlihat culun.
Namun yang lebih parah lagi dari itu semua, ia memiliki bekas luka memanjang di sisi kanan wajahnya yang menurun hingga keleher. Luka yang ia dapat ketika berusaha membela diri dari pukulan ayahnya. Ia tidak pernah mengeluhkan tindakan ayahnya karena ia tidak mau ibunya ikut terkena imbas dari emosi ayahnya yang memang terkenal tidak terkendali.
"Where's that beast? Find him!" teriak seseorang dibelakang Liam kecil. Jantung Liam langsung berdegup cepat tidak terkendali. Tidak banyak tempat dimana ia bisa melarikan diri di sekolahnya ini. Nafasnya tersengal-sengal dan bibirnya perlahan memutih.
Liam kerap melirik kebelakangnya setiap beberapa detik sekali. Ia benar-benar ketakutan kalau salah satu diantara anak-anak yang senang membullynya berhasil menemukan dirinya. Air matanya sudah merebak diujung mata, saat tiba-tiba sepasang tangan menariknya masuk kedalam sebuah ruang music.
Liam sempat meronta sesaat setelahnya, namun ketika ia melihat sepasang mata berwarna hazelnut yang indah sedang menatapnya sembari tersenyum, ia terdiam. Pemilik mata indah tersebut membekap mulut Liam dengan sebelah tangannya dan tangan yang satunya lagi menaruh telunjuk diatas bibirnya yang mungil.
"Ssstt! Kemarilah," anak perempuan itu menariknya menuju kedalam sebuah lemari dalam ruangan itu. Ia kemudian mendorong Liam kedalamnya dan menyuruh Liam untuk masuk. "Jangan bersuara, dan jangan keluar dari dalam lemari ini sampai aku membukakan pintu untukmu," ucap anak perempuan itu lagi. Liam hanya mampu mengangguk tanpa suara. Ia terlalu ketakutan, dan jika bersuara, suaranya pasti akan terdengar seperti cicitan seekor tikus.
Beberapa saat setelah menutup pintu lemari, Liam dapat mendengar anak perempuan tersebut kembali memainkan biolanya seolah tidak terjadi apa-apa. Sejurus kemudian terdengar suara teriakan dan seruan dari luar ruangan, dan terdengar bunyi pintu dibuka. Liam tanpa sadar menahan nafasnya.
"Hey Smith! Did you see a beast passing through?" tanya seorang anak laki-laki. Ia memanggil anak perempuan tadi dengan nama belakangnya.
"A beast? In our school Henry?" tanya anak perempuan itu.
"Ya, anak buruk rupa itu, Liam the beast. Ia melarikan diri saat aku sedang mengajaknya bersenang-senang," jawab Henry. Liam ingin mendengus saat mendengar jawabannya, tapi ia tidak bisa karena takut akan ketahuan.
"Aku tidak tau siapa yang sedang kau bicarakan, Henry. Tapi aku tidak melihat ada yang lewat sejak tadi."
"Ia tadi melewati koridor sini, Smith. Tidak ada jalan alternative lain disini." Sedikit nada ancaman tersisip dalam kalimatnya, tapi toh anak perempuan itu tidak merasa ketakutan sedikitpun.
"I'm really busy with my violin. Aku tidak punya waktu untuk memperhatikan siapa saja yang lewat."
"Baiklah kalau begitu, teruslah bermain dengan biolamu. Aku tidak akan mengganggumu," sahut Henry gusar. Liam mendengar suara pintu terbuka dan kemudian dibanting. Lama setelahnya keadaan masih hening. Liam dapat merasakan detakan jantungnya sendiri. Sampai akhirnya pintu lemari dimana ia bersembunyi, terbuka.
YOU ARE READING
BEASTLY LOVE
RomanceWilliam Isaac Blade, seorang casanova yang hatinya tidak pernah terjamah oleh seorang wanita. Tampan, kaya raya dan memiliki segalanya. Wanita mana yang tidak akan jatuh hati padanya? Tapi benarkah seoang Blade tidak pernah mencintai seorang wanita...