Bagian 3

46.7K 5.2K 513
                                    

Sumpah demi apa pun, selain jeweran ibunya yang meninggalkan bekas kemerahan di telinganya dan rasa perih yang luar biasa, hal kedua yang sangat dihindari oleh Rizki dari sang ibu adalah teriakannya. Jika ibunya sudah berteriak, telinganya akan langsung berdengung.

Suara wanita separuh baya dengan tubuh yang bisa dibilang cukup kecil itu melebihi suara Mariah Carey yang mencapai lima oktaf. Bayangkan seperti apa perasaan Rizki saat telinganya harus mendengar suara semelengking itu dari jarak dekat.

"Bunda bilang bangun, Rizki Satrya Hamizan! Kamu nggak lihat ini udah jam berapa? Seharusnya jam segini kamu itu cari kegiatan. Cari apa gitu. Cari calon istri, kek!"

Rizki menarik napas dalam-dalam ketika teriakan sang ibu kembali memenuhi kamarnya. Hari minggu yang ia harapkan akan dimulai dengan penuh kedamaian, hancur seketika akibat lengkingan nyonya besar di rumah ini.

"Iya, Bun. Ini udah bangun." Mau tak mau, Rizki pun dengan amat terpaksa membuka matanya dan menyahuti teriakan sang ibu.

"Jangan iya-iya aja. Sana, mandi."

Sekali lagi, tarikan napas dalam-dalam dilakukan oleh Rizki yang berakhir dengan embusan napas penuh kelegaan setelah ibunya menghilang dari hadapannya.

Sejak saudara kembarnya menikah beberapa bulan yang lalu, sikap Meli kepadanya memang sedikit berubah. Ibunya menjadi lebih beringas dari sebelumnya. Entah apa salahnya.

Tak ingin pendengarannya kembali menerima teriakan sang ibu, Rizki pun dengan cepat membersihkan diri. Hanya sebentar karena sesungguhnya ia tak terlalu suka mandi pagi.

Setelahnya, ia pun bergegas keluar dari kamar untuk menunjukkan kepada ibunya bahwa ia telah rapi meskipun kedua matanya masih tampak sembap sebab tadi malam ia begadang untuk bermain game yang dilanjutkan dengan bermain bersama dirinya sendiri dan khayalan liarnya yang sudah tak tertolong lagi.

"Ngocok mulu, Dek. Kapan nge-crotnya?"

Satu pertanyaan yang terdengar begitu ambigu, terlontar dari mulut Rizki ketika melihat adiknya sedang mengaduk adonan kue menggunakan mixer manual. Sang adik pun sontak memberi pelototan tajamnya kepada Rizki yang ia pikir agak tidak waras.

"Bunda! Abang ngomong jorok, Bun!"

Kali ini, gantian Rizki yang memberi pelototan sengit kepada sang adik kala gadis yang sebentar lagi akan berusia tujuh belas tahun itu mulai mengadu kepada sang ibu. Ia pun tak segan menjentikkan jarinya di kening Dara sehingga membuat adiknya itu mengaduh.

"Dasar, tukang ngadu. Nggak berkah hidup lo," sembur Rizki yang hanya dibalas Dara dengan menjulurkan lidahnya sebelum kembali fokus pada kegiatannya sebelumnya.

Rizki pun akhirnya beranjak dari dapur tatkala tak ada yang bisa ia lakukan di sana. Kakinya berjalan dengan santai keluar rumah dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku jaket yang melekat pada tubuhnya.

Seperti minggu-minggu sebelumnya, setiap hari minggu setelah Rizkan menikah, ia akan menuruti perintah Meli dengan mencari kegiatan di luar sana saat ibunya menyuruhnya untuk bangun pagi.

Seperti saat ini misalnya. Ia akan duduk di salah satu bangku di taman komplek perumahannya sembari mencuci mata dengan memerhatikan bokong-bokong gadis komplek yang sedang melakukan senam bersama beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang tinggal di sini. Selain mencuci mata, ia juga akan mendapat bubur kacang hijau gratis. Mungkin inilah yang dinamakan berkah karena telah menuruti perintah sang ibu.

"Tante, buburnya, dong. Laper, nih. Nggak dikasih makan sama Bunda," pinta Rizki pada salah satu orang yang cukup dekat dengannya karena rumah mereka bersebelahan.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang