Bagian 42

48.1K 4.2K 598
                                    

Awan mendung menjadi latar proses pemakaman Wira Brahmasatya. Ada banyak orang yang mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Terlihat rata-rata dari mereka adalah relasi bisnisnya, yang Belinda yakini datang ke sini hanya untuk formalitas belaka, bukan karena merasa berduka.

Gemuruh dari langit terdengar saling bersahutan seiring dengan jenazah Wira yang perlahan masuk ke liang kubur. Prosesnya berjalan hikmat dengan bumbu kehilangan yang terasa begitu kental dari keluarga Belinda yang jumlahnya tak terlalu banyak.

Siang itu tak ada tangisan. Hanya wajah sendu yang tampak di wajah Belinda dan kedua orangtuanya. Sekeras apa pun sikap Wira kepada mereka selama ini, kesedihan tetap menghampiri mereka kala Wira dinyatakan tak lagi bernyawa.

"Kita pulang," bisik Rizki yang juga mengikuti prosesi pemakaman Wira.

Helaan napas panjang meluncur dari bibir Belinda. Memberi anggukkan dengan senyum seadanya sebagai persetujuan atas ajakan Rizki.

Mengusap pundak Belinda, Rizki mengambil satu tangan gadis itu, membawanya dalam genggaman hangatnya seiring dengan langkah mereka yang berjalan seirama meninggalkan pemakaman.

"Maafin Kakek ya, Ki," ucap Belinda setelah ia dan Rizki berada di dalam mobil. Tubuhnya dibuat sedikit menyamping agar bisa memandang pria itu.

Rizki melepas senyum di bibirnya. Tangannya bergerak mengacak ringan rambut Belinda.

"Aku udah maafin Kakek kamu, Be."

Belinda menundukkan kepalanya. Lihat, orang-orang yang dulu dijahati oleh kakeknya mudah sekali memberi maaf. Padahal, ia tahu bahwa Rizki merupakan salah satu orang yang begitu banyak menerima penderitaan dari sang kakek, tetapi pria itu berbesar hati menerima bahkan memaafkan semua kesalahan Wira.

Yang Belinda sayangkan dan membuat dirinya semakin malu, di akhir hayatnya, Wira tak sekalipun mengucap kata maaf. Bahkan, saat ajal mendekat pun Wira masih bisa bersikap sombong. Kini, Belinda hanya berharap saat di akhirat nanti, sang kakek tidak bertemu dengan malaikat penjaga pintu neraka.

"Terima kasih, Ki," kata Belinda, memberi senyum tulus kepada Rizki.

Rizki memajukan wajahnya hanya untuk memberi sebuah kecupan di puncak kepala Belinda. Setelahnya, pria itu melajukan mobilnya menuju kediaman Wira Brahmasatya.

Banyak orang yang siang itu hadir di rumah Wira untuk mendoakannya. Setidaknya doa-doa dari para pelayat bisa meringankan Wira di akhirat sana.

"Kamu mau di sini atau pulang?" tanya Belinda.

"Di sini aja. Nemenin kamu."

Belinda mengangguk. Keduanya pun sama-sama keluar dari mobil. Ikut bergabung bersama yang lainnya.

"Ma." Belinda mengambil duduk di samping Ela, sedang Rizki memilih bergabung bersama para pria yang berada di bagian depan. "Mama baik-baik aja?"

Ela memalingkan pandangannya ke arah Belinda, melempar senyum kepada anak gadisnya itu. "Mama baik, Sayang."

Belinda menggenggam kedua tangan ibunya. Matanya tak lepas dari wanita yang sangat dicintainya itu.

"Semuanya udah selesai kan, Ma?"

"Semuanya udah selesai," sahut Ela tanpa ragu, sambil meremas tangan Belinda.

Senyum mengembang lebar di bibir Belinda sebelum kepalanya jatuh di atas bahu sang mama. "Bebe harap Kakek tenang di sana, Ma."

"Ya, doakan saja yang terbaik untuk Kakek kamu."

"Bebe sebenernya masih bingung apa yang ngebuat Kakek sampe berbuat kayak gitu ke kita, Ma. Itu beneran nggak masuk akal." Belinda melirik ibunya lewat bulu matanya, tanpa repot-repot mengangkat kepala.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang