Bagian 21

28.7K 4.2K 645
                                    

Rizki S. Hamizan: Angkat telepon dong, sayang. Lagi atit, nih. Butuh ibu dokter.

Belinda mengulum senyum di bibirnya setelah membaca serangkaian kalimat yang Rizki kirim. Matanya mengerjap beberapa kali, tak lepas dari layar ponselnya yang memperlihatkan pesan singkat dari pria itu.

Dadanya mengembang, merasakan kebahagiaan yang telah diidam-idamkannya sejak dulu, sejak ia sadar bahwa hatinya memilih Rizki.

Namun, walau sedang dikerumuni kegembiraan, Belinda tak lantas membalas pesan pria itu, ia malah mengabaikannya seperti panggilan Rizki beberapa saat yang lalu. Bukan karena ingin kembali menghindari pria itu, tetapi karena ia masih sangat malu untuk berhadapan dengan Rizki setelah kejadian kemarin.

Sebenarnya, selain karena malu, ia tak mengacuhkan panggilan dan pesan Rizki lantaran tak ingin tertipu untuk yang kedua kalinya walaupun ada sedikit rasa cemas dalam dirinya. Apalagi kemarin Rizki memang benar-benar sedang sakit.

Pesan itu juga tidak membuat Belinda panik seperti kemarin, saat Rizki juga melakukan hal yang sama seperti ini. Pria itu tiba-tiba saja meneleponnya lalu merengek kesakitan. Belinda yang memang sedang berada di rumah jelas saja langsung lari terbirit-birit ke rumah Rizki.

Sialnya, setelah sampai di sana, bukan wajah kesakitan pria itu yang tampak di matanya, tetapi ekspresi ceria dengan senyum lebar khas Rizki sembari menyodorkan uang logam beserta balsam. Dengan santainya berucap, "Kerokin aku dong, Be."

Detik itu pula air muka Belinda yang awalnya panik bercampur khawatir, dalam sekejap bertransformasi menjadi raut datar yang sarat akan kekesalan. Rasanya tangannya sudah gatal ingin memukul pria itu sampai lumpuh.

"Mbak, Bebe! Ada Dara di depan, nyariin Mbak Bebe."

Teriakan dari asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Belinda dari luar kamar membuat gadis itu bangkit dari atas tempat tidur lantas keluar untuk menemui Dara yang katanya ada di depan dan mencarinya.

"Kak Bebe, bisa ngobatin Abang, nggak? Badannya panas banget." Tanpa basa-basi, saat melihat Belinda baru saja menuruni tangga, Dara langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Wajahnya tampak panik dengan jari yang saling bertaut.

"Rizki?" tanya Belinda penuh waswas.

Dara mengangguk. "Bunda sama Ayah nggak ada di rumah, Kak. Dara nggak tahu minta tolong sama siapa. Dara nggak bisa bawa mobil, nggak bisa nganter Abang ke rumah sakit. Abang dari tadi juga teriak kesakitan, sampe nangis."

"Ya ampun! Jadi dia beneran sakit?" Belinda bertanya kepada dirinya sendiri, merasa resah. "Tunggu sebentar ya, Dara. Kakak ambil tas obat dulu."

Melihat Belinda yang lari pontang-panting karena panik, Dara sudah tak bisa lagi menahan tawa yang ingin keluar dari tadi. Ternyata ikut ekskul teater di sekolah banyak membantu dirinya dalam hal mengelabui orang lain.

Sebenarnya, ia tak suka menggunakan kelebihannya untuk mengerjai orang lain, tetapi karena Rizki menjanjikan hal yang menggiurkan bagi dirinya, tentu ia tidak dapat menolak.

Maafin Dara ya, Kak Bebe. Disuruh Abang.

"Ayo, Ra!" ajak Belinda dengan langkah yang terburu-buru.

Dara kembali memainkan perannya. Ia juga mengikuti Belinda yang setengah berlari walau bibirnya terus berkedut karena menahan tawa. Begini rupanya reaksi seorang gadis yang katanya mati-matian melempar kebencian kepada abangnya.

"Langsung ke atas aja, Kak. Abang di kamar," ucap Dara, memberi tahu Belinda setelah mereka tiba di rumahnya.

Belinda mengangguk singkat. Masih dengan langkah lebarnya, ia bergerak cepat menaiki tangga, menuju kamar Rizki dan mengobati pria itu sebelum dia mati dan membuat Belinda kembali patah hati.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang