Bagian 35

25K 3.9K 498
                                    

"Abang kapan pulang?"

"Secepatnya."

"Dara kangen Abang. Rumah sepi kalo nggak ada Abang."

Rizki tersenyum kecil. "Bukannya kamu seneng kalo nggak ada Abang di rumah? Kan nggak ada yang gangguin kamu."

Dara cemberut. Jarinya bermain di atas meja. "Dara baru ngerasain kehilangan setelah Abang pergi."

"Kebanyakan main teater kamu, begini kan jadinya," dengus Rizki, merasa geli dengan perkataan sang adik yang berlebihan.

Dara tak menanggapi, hanya saja bibirnya semakin mengerucut ke depan karena ledekan Rizki barusan. Walau begitu, ia senang karena Rizki sudah mulai bersikap santai setelah mendekam di penjara selama lebih dari satu bulan lamanya. Selain itu, panggilan di antara mereka yang biasanya selalu menggunakan lo-gue, kini lebih halus dengan memakai aku-kamu. Abangnya itu banyak berubah.

"Buruan pulang, Bang. Dara janji nggak bakal minta beliin kuota lagi. Setelah Abang pulang, Ayah bakal masang wifi di rumah."

"Abang jadi nggak sabar pingin pulang," sahut Rizki dengan senyum di bibirnya. Kerinduan terpancar jelas di kedua matanya.

"Dara kangen banget sama Abang." Suara Dara kali ini terdengar pelan, seperti sedang menahan sesuatu.

Rizki tidak bodoh. Ia bisa melihat dengan jelas kalau tak lama lagi adiknya akan menangis. Kelihatan dari matanya yang berkaca-kaca. Ia jadi semakin merasa bersalah. Gara-gara dirinya, keluarganya juga harus menanggung semua ini. Mereka terus bersedih sepanjang hari. Belum lagi hinaan masyarakat terhadapnya yang pastinya juga akan menyakiti hati keluarganya.

Akan tetapi, apa pun pemberitaan di luar sana, keluarganya tetap percaya padanya. Hal itulah yang membuat Rizki bisa bertahan sampai detik ini. Masih banyak orang-orang di sekitarnya yang percaya padanya.

Mengambil tangan Dara lantas menggenggamnya, Rizki pun buka suara. "Abang juga kangen sama kamu. Jaga diri baik-baik ya, Dek. Abang lagi nggak bisa jagain kamu dari cowok-cowok yang sering gangguin kamu itu."

Sungguh, Dara tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya takut tak bisa menahan air matanya yang memaksa untuk keluar. Baik dirinya maupun keluarga yang setia mendukung Rizki, mereka sudah berjanji untuk tak menangis di depan pria itu. Mereka hanya ingin membuat Rizki kuat. Pada akhirnya, Dara hanya mengangguk.

Melihat adiknya yang berusaha kuat menahan tangisnya, tak ada lagi yang bisa Rizki lakukan selain mengusap rambut gadis itu dengan senyum getir yang melekat di bibirnya.

Tak lama kemudian, Dara pun pamit. Kemudian disusul oleh Belinda yang masuk setelahnya.

Sama seperti Dara sebelumnya, Belinda pun datang dengan senyum cerahnya. Dan Rizki hanya bisa berharap agar orang-orang di sekitarnya memang benar-benar tersenyum, bukan hanya untuk menutupi kesedihan mereka.

"Kangen," ucap Belinda, menyerupai sebuah rengekan.

Tanggapan yang Rizki beri hanyalah sebuah senyuman tipis. Sekali lagi, Belinda harus puas dengan respons pria itu walau sebenarnya ia sangat merindukan Rizki yang dulu, yang selalu menanggapi setiap ucapannya dengan menggebu-gebu. Pria yang ada di depannya ini seperti bukan Rizki-nya. Dia sungguh berbeda.

"Aku bawain makanan buat kamu, Ki. Ini perdana, lho. Aku masak sendiri," kata Belinda dengan senyumnya yang begitu lebar sembari membuka kotak makan yang ia bawa dari rumah.

"Ini semua kamu yang masak?" tanya Rizki, tampak tertarik dengan apa yang Belinda bawa untuknya.

Belinda mengangguk semangat. "Iya, dong! Aku udah berguru sama Bunda kamu. Dijamin rasanya enak."

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang