Bagian 38

24.9K 3.9K 272
                                    

Di balik jeruji, terlihat seorang pria tengah duduk di lantai yang dingin dengan lutut ditekuk dan punggung yang disandarkan pada kerasnya tembok. Kepalanya agak mendongak, mengedarkan tatapannya pada langit-langit penjara yang terlapis warna putih kusam dengan bercak hitam di mana-mana.

Walau sudah satu bulan lebih tinggal di tempat ini, Rizki tetap tak merasa nyaman. Ya, siapa memangnya yang betah tinggal di tempat seperti ini? Kalau penjara membuat semua orang merasa nyaman, maka penjahat tidak keberatan dijebloskan ke sini.

Sebentar lagi, pikir Rizki.

Hanya tinggal menghitung hari sampai akhirnya sidang kedua dilangsungkan. Rizki jauh lebih semangat sekarang. Kuasa hukum serta Rizkan dan ayahnya benar-benar melakukan yang terbaik untuknya.

Kalau Roni melawannya dengan uang, maka mereka pun menyerang balik dengan uang pula. Bukan hanya uang saja, kecerdasan pun turut ambil bagian. Setelah itu, tinggal menunggu kemenangan datang menghampiri mereka.

Panggilan dari sipir menarik Rizki dari alam bawah sadarnya. Ada orang yang datang membesuknya, dan yang tercetus pertama kali dalam benak pria itu adalah keluarganya atau mungkin pengacaranya. Namun, di dalam lubuk hatinya, ia berharap bahwa yang datang kali ini adalah Belinda. Ia merindukan gadis itu dan merasa bersalah sebab kata maaf belum terucap dari bibirnya karena telah membuat Belinda kecewa.

Tebakan Rizki ternyata tidak ada yang benar. Yang menjenguknya kali ini sungguh membuatnya terkejut. Akan tetapi, ia mencoba menyembunyikan kekagetannya di balik senyum miring yang tercipta di bibirnya. Kakinya pun melangkah dengan ringan, lalu bokongnya jatuh di atas kursi.

"Mau apa?" tanya Rizki, nada suaranya memang terdengar biasa saja, tetapi jika ditelaah lebih lanjut, maka siapa pun akan mendapati sebuah amarah bercampur kecewa di sana.

Laki-laki yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat kepalanya. Seluruh badannya tampak begetar, matanya pun ikut berpendar sendu. Laki-laki itu, yang bernama Roni, kelihatan begitu menyesal.

"Maafin gue. Maafin gue, Ki," racau Roni. Kepalanya kembali menunduk, dan Rizki dapat mendengar isakan lolos dari bibir sahabat yang tega menusuknya dari belakang itu.

"Dari dulu lo masih aja jadi pengecut, Ron. Biar gue tebak, lo disuruh sama Ayah lo, kan?"

"Gue nggak bisa apa-apa, Ki. Lo tahu hidup gue berantakan sejak dulu."

"Gue tahu. Dan gue selalu bantu lo buat keluar dari masalah lo. Malam itu, gue bahkan mau bantu lo keluar dari masalah lo, tapi yang lo lakukan malah mukul kepala gue sampe gue nggak sadarkan diri dan berakhir di tempat ini!" Di akhir kalimat, Rizki sudah tak bisa lagi menahan amarah yang menggumpal dalam dadanya sejak melihat Roni. Teriakan pria itu mengudara.

Tangisan Roni semakin menjadi. Otak memerintah tubuhnya untuk turun dari kursi lantas berlutut di hadapan Rizki.

"Maafin gue, Ki."

Napas Rizki tersengal-sengal saking emosinya dengan sikap pengecut Roni. Pandangannya ia buang ke arah lain, tak sudi menatap seseorang yang tega membuatnya berada dalam masalah ini.

Malam itu, setelah Rizki menghabiskan waktu bersama Roni di apartemen pria itu untuk menenangkannya yang tengah dipenuhi amarah karena perselisihannya dengan Dion, ia tak tenang dan memilih untuk mengikuti Roni.

Rizki tahu kedua sahabatnya itu sedang ada cekcok. Awalnya karena masalah perempuan. Setahu Rizki, Roni berusaha meniduri kekasih Dion. Siapa memangnya yang tidak marah jika kekasihnya ingin ditiduri oleh orang lain, walaupun itu sahabatnya sendiri. Begitulah kira-kira pemikiran Dion waktu itu.

Kemudian, Roni bilang dia sudah meminta maaf dan mengaku kalau dia sama sekali tidak tahu jika wanita itu adalah kekasih Dion. Namun, Dion tetap tak terima dan mendeklarasikan permusuhan di antara mereka, dimulai dari mengadukan Roni kepada ayahnya kalau pria itu memakai narkoba. Untuk yang satu itu, Rizki juga baru mengetahuinya.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang