Bagian 31

25.7K 4.1K 202
                                    

Semilir angin menerbangkan rambut ikal Rizki yang sudah mulai panjang. Matanya tertutup rapat, menikmati sejuknya angin di sore hari. Jiwanya merasa sedikit tenang saat menyatu dengan alam seperti ini. Sebagian bebannya seolah terangkat dari pundaknya.

Belakangan ini, tepatnya setelah melihat sendiri bagaimana kerasnya hati seorang Wira Brahmasatya kala menolaknya, membuat dirinya benar-benar frustasi. Pikirannya seakan tak pernah berhenti pada satu titik yang sama. Ia gelisah memikirkan cara apa lagi yang bisa meluluhkan kebatuan Wira.

Mengambil napas dalam, Rizki pun membuka matanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas lantai yang sudah mulai rusak itu dan melipat kedua tangannya di bawah kepalanya untuk dijadikan bantalan. Matanya tak beralih menatap langit jingga di atasnya.

"Lo masih nggak berubah, ya. Setiap punya masalah selalu lari ke sini."

Satu suara yang masuk ke dalam pendengaran Rizki membuat pria itu menegakkan tubuhnya, kemudian memutar pandangannya ke sumber suara. Di sana, ia mendapati Rizkan yang tengah menghampirinya dengan senyum miring di bibirnya.

Rizki masih tak bersuara. Hanya matanya saja yang terus mengikuti gerak-gerik Rizkan sampai akhirnya saudara kembarnya itu mengambil duduk di sampingnya dengan kedua kaki yang dibuat menggantung.

"Udah mulai capek sama prinsip lo yang bakal tetap setia cuma sama Bebe doang?" Rizkan melirik Rizki sekilas sebelum tatapannya beralih ke depan.

Rizki mengembuskan napas panjang lantas membetulkan posisi duduknya. Jujur saja, ia tidak terlalu terkejut menemukan Rizkan berada di tempat yang sama dengannya. Hanya pria itu yang tahu ke mana ia akan pergi bila sedang dalam masalah besar. Cuma Rizkan yang tahu kalau ia akan selalu datang ke gedung kosong di pinggir kota dan naik ke rooftop untuk mencari kedamaian.

"Memangnya salah ya, Riz, kalo cowok biasa-biasa aja kayak gue ini cinta banget sama Bebe?" tanya Rizki tiba-tiba.

"Menurut gue, nggak ada yang salah dari mencintai seseorang."

Perhatian Rizki terpusat pada pemandangan jalanan di bawah sana, tampak semua kendaraan seperti menyerupai miniatur yang bergerak bila dilihat dari atas seperti ini.

"Tapi kenapa gue kelihatan salah banget di mata Kakeknya Bebe? Dia bilang gue nggak pantes buat Bebe. Memangnya ada yang salah sama gue?"

"Iman lo kurang kuat kali."

Rizki melemparkan tatapan kesalnya kepada Rizkan. "Sialan! Serius gue."

"Menurut pandangan gue, kayaknya Kakeknya Bebe punya alasan sendiri kenapa dia selalu ngatur anak-anak bahkan cucunya. Bisa jadi karena masa lalu," terka Rizkan.

"Halah! Sok tahu lo."

Kali ini gantian Rizkan yang memaki Rizki. "Sialan! Gue lagi mau ngasih pencerahan ke elo. Dasar nggak tahu terima kasih. Bunuh diri aja sana lo!"

"Lagian lo itu sok tahu. Urusan cinta-cintaan lo sama Geulis aja gue yang bantu. Kalo nggak ada gue, lo masih perjaka sampe detik ini."

Tanpa aba-aba, Rizkan langsung menempeleng Rizki. Saudara kembarnya ini memang selalu bersikap kurang ajar kepadanya. Padahal, niatnya ke sini adalah untuk membantu pria itu mencari jalan keluar atas kesulitan yang tengah dihadapinya saat ini.

"Lo memang nggak bisa dikasih tahu."

"Ngapain lo ngasih gue tahu. Gue lebih suka tempe."

"Gue doain Kakeknya Bebe makin nggak ngerestuin hubungan lo sama Bebe. Biar mampus lo sekalian."

Rizkan yang saat itu baru bangkit berdiri, hampir saja terjatuh sebab Rizki tahu-tahu sudah menendang kakinya. Tawa Rizki pun meledak detik itu juga.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang