Bagian 14

27K 4.3K 268
                                    

Langit sore terlihat kelam dan angin datang menderu-deru, menandakan bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Belinda yang baru sampai di pemakaman berharap langit menunda tangisnya sejenak sebab ia tak menaruh payung di dalam mobilnya. Belakangan ini, cuaca tidak dapat diprediksi. Bisa saja di pagi hari cuaca sangat terik, tetapi setibanya sore, awan gelap menyelimuti bumi dan hujan deras pun tak dapat dihindari.

Menggosok kedua tangannya sebentar, Belinda kemudian keluar dari dalam mobil dan membawa serta buket bunga lily yang tadi dibelinya saat dalam perjalanan.

Ia lantas bergegas memasuki area pemakaman. Derap langkahnya ringan dan pendek-pendek. Wangi bunga kamboja menemani dirinya di sepanjang perjalanan menuju makam yang akan dikunjunginya sore ini.

Nisan yang bertuliskan Melani Brahmasatya menjadi tempat perhentian Belinda. Ia kemudian berjongkok di samping makam dan meletakkan bunga lily tersebut di depan nisan dengan posisi berdiri.

Sejenak, Belinda hanya diam sambil memandangi pusara almarhum adik kandung ibunya atau yang biasa ia panggil dengan sebutan tante. Lidahnya bergerak memutari bibirnya untuk membasahi area tersebut sebelum napas panjang terlepas dari mulutnya.

"Tante, apa Bebe harus ngikutin jejak Tante supaya Kakek berhenti?" Belinda menyuarakan pertanyaannya walau ia tahu pertanyaan tersebut tak akan mendapat jawaban apa pun.

Menghela napas panjang, Belinda mencabuti rumput yang mengotori pusara tantenya. "Bebe capek, Tante. Selama bertahun-tahun, hidup Bebe di bawah kuasa Kakek. Bebe seakan-akan nggak pernah hidup." Suaranya terdengar parau, seperti menyimpan kesedihan yang berlimpah.

Tangan Belinda berpindah mengusap nisan hitam sang tante. Lambat laun, senyum mulai tampak di bibirnya. Senyum tegar yang bermaksud untuk menyemangati dirinya sendiri. "Tapi kayaknya Bebe nggak mungkin pergi sekarang. Kalau waktu itu Tante nggak bisa menghentikan Kakek, mungkin sekarang Bebe yang akan ngebuat Kakek berhenti mendalangi hidup seseorang."

Belinda kemudian memutuskan untuk pulang saat gerimis halus menghinggapi bajunya.

"Bebe pulang dulu ya, Tante. Doakan Bebe supaya bisa bebas dari Kakek dan menjalani hidup sesuai dengan apa yang Bebe inginkan." Kalimat tersebut sekaligus mengakhiri sesi curhat Belinda di depan makam tantenya yang juga mengalami nasib yang sama dengannya.

Dengan langkah tergesa-gesa Belinda menghambur ke arah mobilnya dengan kedua tangan yang menutupi kepalanya kala hujan bertambah deras.

Sesampainya Belinda di mobil, ia mengibas-ibaskan tangannya di sekitar bajunya yang terkena air hujan. Setelahnya, barulah ia menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.

Sambil ditemani hujan di sepanjang perjalanan, kenangan Belinda bergerak mundur ke belakang, saat ia melakukan makan malam paling indah selama hidupnya, lalu disusul dengan datangnya ancaman dari kakeknya serta pelukan terakhir yang ia berikan untuk Rizki. Semua kejadian itu membuat beban di pundaknya semakin bertambah. Hanya dalam waktu satu hari ia dipaksa untuk menerima kebahagiaan dan kesedihan sekaligus.

Hidupnya benar-benar rumit. Kalau saja bisa, ia ingin memberitahukan mengenai sifat diktator kakeknya kepada orang-orang terdekatnya guna meminta solusi. Sayangnya, ia tak seberuntung itu.

Ingin berbagi cerita kepada temannya, tetapi ia teringat kalau ia tak terlalu dekat dengan temannya bahkan hampir tak memiliki teman. Lalu, ingin mengadu kepada kedua orangtuanya, tetapi ia tahu jelas kalau dulu pun kedua orangtuanya juga mengalami hal yang sama. Ayah dan ibunya menikah karena perjodohan. Beruntung kedua orang itu pada akhirnya saling mencintai. Kalau tidak, mungkin hidup Belinda akan semakin berantakan. Untuk yang satu itu, Tuhan sedikit berbaik hati kepadanya.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang