E p i l o g

79.8K 4.8K 350
                                    

Hari mulai agak siang ketika Rizki terbangun dari tidur nyenyaknya. Matanya berputar ke sekeliling kala mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi. Maniknya jatuh pada wajah cantik yang masih terlelap di sisinya. Mengembanglah senyum lebar di bibirnya. Siapa lagi yang mengisi ranjangnya beberapa hari ini kalau bukan Belinda.

Semuanya sudah tercapai sekarang. Keinginan kuat sejak beberapa tahun yang lalu sudah menjadi milik Rizki seutuhnya. Bersama Belinda, ia mulai menata hidupnya agar menjadi pria yang lebih baik lagi, menjadi seorang suami yang juga bertanggung jawab.

Lenguhan panjang Belinda serta perubahan posisi gadis itu—ah tidak, maksudnya wanita itu—membuat Rizki ditarik paksa untuk kembali ke realitas. Sudut bibirnya terangkat semakin lebar kala Belinda memeluk dirinya.

Rizki jelas tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia balas memeluk Belinda, menyamankan wanita itu dalam kukungannya. Kendati sudah sering berpelukan setiap malamnya, baik Rizki maupun Belinda, keduanya tak pernah bosan melakukan hal itu.

"Jam berapa, Ki?"

Lima belas menit kemudian Belinda buka suara, tanpa mau susah payah menjauhkan dirinya dari Rizki.

"Jam setengah sepuluh," jawab Rizki. Jemari panjangnya bergerak menyisir rambut Belinda dengan gerakan super lembut agar wanitanya merasa nyaman.

Barulah Belinda bergerak dari posisi sebelumnya, memilih duduk di atas ranjang. Kelopak matanya dipaksa terbuka sepenuhnya walau kantuk menyerang. Beginilah efek olahraga malam yang berlanjut sampai pagi.

"Ngantuk banget, Ki."

Belinda menyerah, dengan tubuh yang terasa remuk tak keruan dan kantuk yang terus memborbardir matanya, ia kembali berbaring di samping Rizki dan menggunakan dada pria itu sebagai tempatnya bersandar lagi.

Rizki terkekeh pelan. Membiarkan Belinda balas dendam karena jam tidur malamnya berkurang akibat ulahnya.

"Ya, udah, tidur lagi."

"Hm."

"Mau tidur sendiri apa aku tidurin, Be?"

Tanpa membuka matanya, Belinda memberikan satu pukulan kuat di punggung Rizki. Pukulan itu cukup untuk memberi tahu pria itu apa pilihannya. Dan lagi-lagi Rizki tergelak.

Helaan napas Belinda yang terdengar teratur menandakan wanita itu sudah kembali bergabung bersama bunga tidurnya. Dengan gerakan perlahan, Rizki menarik dirinya dari Belinda. Perutnya terasa nyeri sebab menahan lapar selepas subuh tadi.

Hanya dengan boxer yang kelihatan begitu kusut, Rizki turun ke dapur untuk menyantap apa pun yang bisa mengisi perut kosongnya. Roti yang menjadi pilihannya. Sembari duduk di meja makan, Rizki mengolesi dua lapis roti dengan selai sebelum menyatukannya dan melahapnya sampai tak bersisa.

Seperti orang Indonesia kebanyakan, belum kenyang kalau belum makan nasi, begitulah Rizki saat ini. Perutnya minta tambah. Namun, tak ada apa-apa lagi di dapur rumahnya yang besar ini. Biar Rizki beri tahu, Belinda tidak pandai memasak. Wanita itu masih dalam proses belajar. Rizki memakluminya, sungguh.

Ah! Kalau sedang kelaparan seperti ini, Rizki jadi merindukan rumah. Ada bundanya yang akan menyiapkan sarapan setiap paginya. Meski begitu, Rizki tetap lebih senang berada di rumahnya sendiri, dengan Belinda di sisinya. Sebab, hidup berdua dengan Belinda seperti ini termasuk salah satu mimpinya.

"Aku udah order makanan. Tunggu sebentar lagi, ya?"

Entah sejak kapan Belinda berada di ruang makan, berdiri di belakang Rizki dan mendekap tubuh suaminya itu lantas memberi sebuah kecupan ringan di rambutnya.

Mendadak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang