Setelah ciuman itu, Gracia menghilang. Setiap malam aku menunggunya, berharap aku dapat melihat senyumnya dan mungkin mengecap rasa dari bibirnya, tapi dia tidak pernah datang. Dia menghilang seperti hantu. Terkadang aku bertanya-tanya apakah Gracia adalah manusia atau sesuatu yang lain.
Menghilangnya ia adalah sebuah alasan yang sangat solid bagiku untuk melupakan Gracia.
Namun ada satu hal yang tidak bisa aku lupakan. Satu kecupan itu yang tertanam didalam otakku seperti sebuah kanker dan perlahan memakan akal sehatku.
Aku duduk sendirian didalam salah satu ruang kelas dengan selembar kertas tergeletak di hadapanku. Aku ingin menggambar sesuatu, atau apapun untuk mengalihkan pikiranku darinya. Perlahan, aku menoleh untuk menatap keluar jendela. Langit begitu biru dan aku tergoda untuk menikmati angin lembut musim panas tapi aku tahu aku tidak bisa melakukan hal itu.
Ketika aku benar-benar gagal untuk mendapatkan ide, aku berbaring dilantai keramik untuk beristirahat. Sinar matahari menyengat mataku karenanya aku memejamkannya dan mendengarkan sekelilingku.
Keheningan ini memberiku sebuah atmosphere yang bagus untuk berfantasi. Aku menciptakan sebuah skenario kecil didalam kepalaku tentang bagaimana aku akan bertenu dengan Gracia di masa depan. Bertabrakan di toilet bukanlah hal yang buruk, atau mungkin aku akan bertemu dengannya lagi di halte bus itu. Dan bagaimana dengan ciumannya? Akankah terasa manis atau...
Sebuah jilatan di bibirku adalah apa yang kubutuhkan untuk menyadari ada orang lain didalam ruangan.
"Hai Shan," senyum itu begitu familiar sampai aku mempertanyakan keasliannya.
Aku tidak ingin melihat wajahnya karena hanya akan membuatku lemah. Gracia akan membujukku, menggodaku sampai aku kembali jatuh pada pesonanya. Namun aku sudah melewati poin persuasi... atau setidaknya itulah yang kukatakan pada diriku sendiri.
Aku menutupi wajah dengan kedua lenganku, "Pergi."
"Gue gamau."
"Kamu gak akan mengacaukan kepalaku lagi, Gracia. Sekarang pergi atau aku panggil sekuriti!"
Aku ingin bersikap garang namun suaraku mengkhianatiku karena ia gemetar dan terdengar sangat lemah.
Gracia bangkit dari posisinya dan berjalan-jalan mengelilingi ruang kelas. Tidak ada apapun dikelas ini kecuali satu furnitur, sebuah sofa, untuk tempat duduk model. Aku menjadi bertanya-tanya karena Gracia jarang sekali diam kecuali ketika dia memikirkan sesuatu. Menghabiskan tiga hari bersamanya memberiku sedikit pengetahuan tentang sifat kupu-kupu ini.
"Gue yang salah. Maksudnya, gue menghilang gitu aja selama tiga bulan."
Aku tidak ingin bertanya karena itu akan membuat Gracia menyadari bahwa aku merindukannya.
"Gue kangen sama lo, Shani."
Aku menggelengkan kepalaku. Inilah alasan mengapa aku tidak pernah menyukai konfrontasi secara langsung, karena aku lemah. Gracia sangat pandai dalam hal ini. Dia mengetahui serangan yang bisa meruntuhkan barikadeku. Dia tahu apa harus dia katakan untuk mempercepat debar jantungku yang malang. Dia selalu menang dan aku tidak bisa melakukan apapun kecuali menerimanya.
"Kamu muncul dihadapanku setelah tiga bulan cuma untuk bilang itu?"
"Sebenarnya gue pengen ngelakuin sesuatu."
Kerongkonganku mengering ketika aku melihat apa yang Gracia lakukan. Dia berjalan kearah sofa dengan lenggokan pinggulnya yang menghipnotis dan membuka kancing kemeja tanpa lengannya. Kemeja tersebut jatuh ke lantai dan menampilkan punggung putih polosnya. Celana pendek dan celana dalamnya mengikuti setelahnya. Benda tersebut luruh di kakinya dengan mudahnya, mengekspos bokong indahnya yang seolah memohon untuk disentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
August's Snow
FanfictionCredit goes to btwkm13 as the writer. Hanya mengubah bahasa, karakter dan sedikit hal didalamnya. Enjoy!