Aku mengerang sambil menenggelamkan wajahku kedalam bantal. Tadi malam begitu luar biasa... sangat luar biasa dan sebelumnya aku belum pernah merasa sepuas ini dalam hidupku. Aku merentangkan tanganku untuk menyentuh Gracia yang sedang tertidur di sampingku, tapi tak ada seorangpun disana.
Aku membuka mataku dan bangkit dari posisi tidurku. Selimut yang menutupi tubuhku terjatuh dari pundakku.
"Gre?" Tanyaku seorang diri. Aku melihat pakaian yang berserakan dilantai, sebagian dari mereka adalah milik Gracia. Dia masih ada disini.
Setelah mengenakan kaos dan celana pendekku, aku keluar dari kamar dan melihat Gracia duduk di lantai. Dia tidak mengenakan apapun kecuali sebuah kaos yang sangat longgar dan dia terlihat sangat menyedihkan dalam keadaannya saat ini; rambut yang berantakan, kulit yang pucat, tubuh yang gemetar.
"Gre?" Aku memanggilnya dan dia sedikit menggeram. Aku duduk di sampingnya dan menyentuh wajahnya, namun tiba-tiba sesuatu di lantai mengalihkan perhatianku.
Terdapat residu dari bubuk putih di lantai. Aku biarkan ujung jariku menyentuh bubuk tersebut sebelum menghirup baunya. Bubuk tersebut tidak berbau dan pastinya bukan tepung. Merasa penasaran, aku membuka mulutku hendak mencicipinya.
"Itu coke. Lo gak boleh makan itu," ucap Gracia dan aku berhenti.
"Coke?" Aku menatapnya tidak percaya. Gadis itu masih tertidur, atau mungkin setengah tertidur tapi aku tidak peduli. Dia bernapas melalui mulutnya, tersengal-sengal layaknya binatang yang terluka.
"Coke makudnya cocaine, narkoba, dan lain-lain... terserah lo mau nyebutnya apa," ucapnya pelan. Suaranya seperti diseret dan tidak jelas.
"Kamu pemakai?" Tanyaku padanya. Aku memegang lengannya dan menatap wajah pucatnya. Gracia tidak memberi respon apapun namun tersenyum padaku. Senyumnya sangat jauh dari kata cantik. Senyumnya terlihat gila dan sakit.
Gracia tidak bicara dan akan sia-sia jika aku memaksanya. Dengan hati-hati, aku membopong tubuh Gracia menuju tempat tidur dan aku dapat mengatakan bahwa aku terkejut akan betapa ringannya tubuh Gracia. Dia perlu lebih banyak makan, aku ingin mengatakan itu padanya ketika dia sudah bangun nanti. Aku menatap wajah tertidurnya dan menghela napas berat.
"Gracia..."
...
Aku dapat mendengar suara seseorang sedang berpakaian. Kenapa aku ada di sofa? Oh iya. Gracia memakai ranjangku karena aku menemukannya sedang 'melayang' pagi ini akibat dari menghirup cocaine.
"Kamu mau kemana?" Tanyaku pada Gracia ketika ia berjalan di depanku.
"Pulang," jawabnya kecut sambil merisleting roknya. Setelah itu, ia berjalan ke pintu depan dan mencari heelsnya.
Aku menahan pergelangan tangannya sebelum ia pergi lebih jauh, "Kita harus bicara."
Gracia mendengus namun ia tidak menampik tanganku dari pergelangan tangannya. Pupil matanya membesar dan dia terlihat sangat ceria yang mana terlihat agak janggal, "O~ke, baiklah."
"Kita harus bawa kamu ke rumah sakit. Kamu sakit."
Gadis itu memutar bola matanya. Dia pasti berpikir akulah yang sakit disini. "Kita semua sakit. Dalam filosofi brainy brain-food, kita semua sakit dan sebenarnya lagi sekarat. Pergi ke rumah sakit itu cuma buang-buang waktu."
Aku tidak percaya gadis ini. Bagaimana bisa dia bersikap masa bodoh tentang hal ini?
"Gracia, aku mau nolong kamu."
Dia menggelengkan kepalanya dan memberiku sebuah tatapan aneh, "Gue nggak sakit. Gue baik-baik aja. Kalo lo mau tau siapa yang sakit, gue bakal ngerekomendasiin lo sebagai yang pertama di daftar gue!" Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya di dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
August's Snow
FanfictionCredit goes to btwkm13 as the writer. Hanya mengubah bahasa, karakter dan sedikit hal didalamnya. Enjoy!