Theme 15: Requiem

1.7K 223 40
                                    

Baca dengan hati-hati, kata per kata.

Paragraf italic terjadi di dalam pikiran Gracia (dia sedang mengalami halusinasi).

ENJOY!

......................................................................

Terkadang Gracia bertanya-tanya apakah dia akan dapat merasakan hatinya lagi. Dia bertanya-tanya apakah dia tahu cara untuk menangis lagi, baik itu karena kesedihan ataupun amarah. Gracia bukannya terlahir tanpa perasaan. Dia adalah manusia normal, dia memiliki perasaan namun tidak mengerti cara untuk mengekspresikannya. Yang membuat semakin parah, Gracia tidak ingin mempelajarinya. Dia tahu dirinya hanya akan berada dalam masalah jika membiarkan perasaan mengendalikannya. Dia tidak menganggap dirinya istimewa tapi dia tahu dia berbeda dengan orang lain. Dia memiliki prinsip untuk tidak membiarkan dirinya berkubang dalam perasaan karena hal itu tidak akan membuatnya berbeda dengan binatang-binatang monogenik itu.

"Lo takut?"

Dia tidak takut. Dia tidak memiliki apapun. Karena itulah dia tidak takut.

"Lo takut. Heh, buka mata lo. Shani ada disana. Dia sekarat..."

Gracia terus memejamkan matanya. Dia tidak ingin mendengar apapun terutama tentang Shani.

"Dia gak takut, Gracia. Shani cukup berani untuk menghadapi kematiannya. Sayang banget ya lo harus kehilangan dia."

"Shani gak mati."

Dia merasakan Michelle menarik sabuk jaketnya. Gracia menggeram saat wajahnya berbenturan dengan lantai.

"Buka mata lo, bitch!" Bentak Michelle sambil memaksa Gracia untuk duduk. Dia menampar pipi gadis itu dengan sangat keras sampai tubuh si gadis kembali jatuh ke lantai.

"Enggak!!!"

Tamparan keras lagi dan Gracia hampir pingsan karena rasa sakitnya.

"Lihat dia!"

"Enggak! Itu bukan Shani!" Gracia menggeliat berusaha melepaskan diri dari Michelle tapi dia tidak bisa bergerak. Jaket itu menahannya sampai dia tidak bisa menggerakan kaki ataupun tangannya.

Gadis muda itu memejamkan mata. Dia tidak ingin melihat gadis yang ditusuk oleh Michelle. Gadis itu bukan Shani. Gracia memfokuskan pikirannya pada suatu hal yang lain; sesuatu yang jauh lebih membahagiakan daripada ini.

Berkatilah ia karena Tuhan telah mewujudkan keinginannya. Shani berada disana. Gadis cantik itu ada disana menunggu dirinya dalam balutan gaun hitam pendek yang menakjubkan. Senyum Shani adalah sihir yang membuat Gracia melangkah mendekat. Gadis yang lebih tinggi itu berbaring dengan damainya di atas sofa dengan segala keanggunannya. Kaki jenjangnya, pinggulnya, bibirnya yang menggoda, rambut halusnya... semuanya untuk direguk oleh Gracia.

"Shani ada disini. Dia menungguku."

Gracia berlari ke arah Shani. Dia naik ke atas sofa dan mengangkangi gadis yang lebih tua itu. Mata mereka saling menatap intens pada satu sama lain layaknya pemburu pada buruannya. Gracia mendekatkan wajah, menargetkan pada bibir Shani.

Tamparan keras Michelle menghacur leburkan imajinasi Gracia. Gracia mengernyit kesakitan.

"Ini hal paling sakral yang pernah terjadi dalam hidup lo dan lo memilih untuk kabur? Lo menyedihkan, Gracia! Denger gue. Lo harus terima kenyataan. Inilah kehidupan dan hidup gak akan pernah berakhir dengan manis. Pikirin orangtua lo! Pikirin tentang nyokap lo yang gak berperasaan dan ngebuang lo. Atau piirin tentang bokap lo yang pedo itu yang udah ngerebut keperawanan lo. Pikirin!"

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang