Theme 3: Elegy

2.8K 294 19
                                    

Bar ini bukanlah tempat untukku. Tempat ini penuh dengan alkohol, asap dan sex. Asapnya mungkin akan terlihat seperti kabut tebal jika dilihat dari atas. Cahaya hijau dan kuning menyinari lantai dansa dimana orang-orang menari seakan tak ada hari esok. Senyuman dan pancaran mata yang licik merefleksikan warna-warna terang dari lampu sorot, dan aku menemukan diriku sendiri dikelilingi oleh iblis-iblis rupawan.

Aku tidak tahu kenapa aku ada disini. Aku lelah, bosan dan hopelessly in love. Aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku darinya. Namun, takdir memiliki rencana lain untukku. Orang-orang bilang takdir itu seperti puzzle - sebuah teka-teki yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya tapi sesungguhnya, tidak seperti itu. Takdir itu seperti sebuah buku terbuka dengan bahasa yang cukup dapat dipahami tapi aku memilih untuk tidak memperdulikannya. Cintalah yang mengacaukan kepala dan hatiku sampai aku terbaring dilantai tak bernyawa.

Gracia ada disini. Ilusi atau bukan, aku tahu Gracia ada disini. Dia seperti hantu didalam kegelapan. Mata dan senyumnya bukanlah sesuatu yang tidak dapat kukenali.

Di sanalah dia, duduk dikursi bar dengan seorang pria yang mungkin adalah orang-yang-akan-segera-menjadi-kliennya. Pria itu sangat jauh dari kata bagus. Tubuhnya terlalu besar seperti beruang dan aku yakin wajahnya jauh dari tampan. Gracia dan pria itu sedang berperang lidah, saling memangsa satu sama lain layaknya serigala yang kelaparan.

"Marah?"

Aku mengangkat alis ketika melihat bartender yang memberiku senyum menawannya.

"Kurasa."

Wanita itu meletakkan segelas martini dihadapanku, yang mana langsung kuhabiskan dalam sekali tenggak.

"Wow... cepat sekali." Dia memuji sambil tersenyum.

Aku mendorong gelas kosong itu kewajah sang bartender dan dia mengerti. Dia kembali menuangkan racikan martini sambil menatapku dengan intens. Kemudian dia melirikkan matanya pada seseorang yang berada disudut bar. Sang bartender adalah orang yang cerdas. Tambahkan dua dengan dua, dia mendapat kesimpulan yang menjelaskan mood burukku.

"Ah, Gracia si kupu-kupu malam," ucapnya pelan namun aku masih dapat mendengarnya.

Aku menutup mulutku. Bicara dengan seorang bartender mengenai masalahku adalah hal terakhir yang ada dalam daftarku. Ini bukanlah sebuah film dimana pemeran protagonis selalu menceritakan masalahnya pada bartender setiap kali mereka mengunjungi sebuah bar.

"Menurutmu, dia bagaimana?" Mulainya. Suaranya masih jenaka namun wajahnya serius.

"Dia cantik," jawabku singkat.

"Dan?"

Aku memejamkan mataku. Gambar ketika aku mencium Gracia berputar tanpa henti didalam kepalaku.

"Dia pencium yang hebat."

Wajah sang bartender terlihat seperti wajah Cheshire si kucing. Penuh dengan kelicikan dan rasa ingin tahu yang mengirimkan sensasi tak menyenangkan pada perutku.

"Lalu?"

"Kurasa dia suka menyiksaku."

Sang bartender tertawa mengejek dan yang ingin kulakukan hanyalah menghantamkan tinjuku pada wajah cantiknya. Namun, aku masih cukup bijak dan sadar untuk tidak memulai perkelahian. Aku menyesap minumanku dan merasakan rasa pahit dari alkohol di lidahku. Tidak ada lagi yang terasa benar ketika nama Gracia disebut.

"Dan anda mencintainya. Anda tidak peduli kalau dia menghancurkan hati anda."

Ya. Aku tahu itu. Gracia akan menghancurkan hatiku suatu hari nanti, tapi aku tidak peduli.

Orang yang sedang jatuh cinta cenderung melakukan hal-hal bodoh. Aku sedang jatuh cinta dan aku melakukan hal-hal bodoh.

"Sekarang dengarkan saya," tiba-tiba bartender itu mengulurkan tangannya melingkari leherku dan menarikku mendekat. Dia menjilat bibirnya sebelum mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Anda bisa bilang kalau saya gila tapi saya tidak gila. Andalah yang gila. Anda jatuh cinta padanya dan tidak peduli kalau dia hanya akan menghancurkan hati anda."

Mata bartender itu menatapku layaknya panah. Tajam dan menikam. Aku tidak dapat bergerak. Aku tidak dapat menggerakkan anggota tubuhku ataupun bernapas dengan baik. Namun, tidak ada suatu apapun yang dapat mengalihkanku dari menatap mata itu.

"Saya ingatkan anda, Miss Lovesick. Sekali anda jatuh cinta, anda harus siap dengan konsekuensinya. Baik itu senang, sedih, bahagia, patah hati, rindu dan kepergian. Tragis karena anda tahu hidup anda akan menjadi neraka atau mungkin jauh lebih buruk lagi. Meskipun saya memperingatkan anda kalau dia hanya akan menyakiti anda..."

Dia menunjuk Gracia yang berjalan bersama pria besar itu menuju pintu keluar.

"Anda masih akan tetap mencintainya."

Bartender itu benar dan aku sangat setuju, namun saat ini sudah terlalu terlambat untuk mengubah hatiku.

...

Saat ini sudah lewat tengah malam ketika aku memutuskan untuk meninggalkan bar. Sudah ada cukup alkohol di pembuluh darahku, mungkin cukup untuk menenggelamkan seekor tikus. Bagian bawah tubuhku terasa mati rasa dan ketika aku mencoba untuk berdiri tegak, aku merasa seakan diriku sedang terbang.

"Sudah mau pergi?" Tanya sang bartender.

Seharusnya dia sudah tahu jawabannya dan aku tergoda untuk tidak menggubrisnya.

"Ya," jawabku pelan.

Sang bartender menganggukkan kepalanya dan tersenyum, "Mau meninggalkan pesan untuknya?"

"Enggak," aku tidak dapat mengenali suaraku, alkohol sialan sudah membuatku merasa seperti seorang pecundang sejati. "Gak ada untungnya mengatakan apa yang aku rasakan... ketika orang yang aku cintai gak bisa mendengarnya."

Setelah itu aku pergi dalam diam. Kakiku terasa begitu berat ketika aku memaksa mereka untuk melangkah didalam ruangan yang penuh sesak ini. Aku merasakan seseorang menghantam pundakku, tapi aku terlalu lelah untuk menolehkan kepalaku. Ketika aku membuka pintu, aku merasakan udara lembab musim panas diwajahku, aku dapat mendengar suara tawa didalam kepalaku.

Kalau saja sebelumnya aku menolehkan kepalaku, aku akan menyadari bahwa Gracialah orang yang menghantam pundakku.

Kalau saja sebelumnya aku menolehkan kepalaku, mungkin aku akan bisa mengatakan pada Gracia tentang perasaanku.

Ketika aku menaiki taksi dalam perjalanan pulang, aku masih dapat mendengar suara tawa itu didalam kepalaku.

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang