WARNING!!! BAHASA VULGAR, YANG DIBAWAH USIA 17 MENYINGKIR YA
"Nyerah aja. Lo cuma ngebuang-buang waktu lo, Shani. Lo perempuan yang cerdas, lo seniman yang hebat dan lo pantas dapet seseorang yang lebih baik."
Itu adalah kata-kata yang Vino ucapkan padaku, ketika dia dan aku berjalan berdampingan di koridor kampus. Jurusannya berbeda denganku, tapi dia selalu menghabiskan waktunya bersamaku. Vino adalah satu-satunya pria di dunia ini yang dapat kupercaya; dia baik meskipun terkadang dia bisa menjadi sangat antisosial. Dia sedikit narsistik dan memiliki kepercayaan diri yang sangat besar, tapi dia pantas untuk bersikap sedikit sombong karena Vino adalah orang yang sangat bertalenta.
"Kamu bukan satu-satunya orang yang bilang gitu ke aku," jawabku sambil berjalan menuju ruang kelas.
"Iya dan lo terlalu bego untuk ngerti bahasa manusia. Gak heran lo selalu kesulitan untuk berkomunikasi sama orang lain," balas Vino sarkastis.
Aku menarik napas dalam; sangat jelas terlihat pria ini ingin bertengkar denganku. Aku tidak ingin bertengkar, karenanya aku memutuskan untuk mengalihkan pikiranku pada hal lain. Akhir semester akan segera tiba dan ada final project yang harus kuserahkan. Hanya tinggal masalah waktu sampai aku harus begadang hingga larut malam untuk menyelesaikan project-ku dan akhirnya kelelahan.
Iya. Masih ada banyak hal yang harus kulakukan. Cinta bisa menunggu.
Kan?
"Heh, lo punya nyali juga ya untuk ngediemin Raja Vino yang hebat ini! Gue lagi ngomong sama lo," omel Vino sambil menarik tanganku.
"Kamu ngomongin kehidupan pribadi aku, Vino. Aku gak mood untuk bahas ini."
Vino mendengus, "Justru karena itulah lo harus ceritain masalah ini. Lo gabisa liat kalo lo berantakan banget akhir-akhir ini?"
Vino mengeluarkan ponselnya dan memfoto wajahku dari jarak dekat. Dia lupa untuk mematikan flashnya dan aku harus mengerjapkan mataku beberapa kali.
"Nih!" Vino mendekatkan ponsel tersebut ke wajahku. "Lo keliatan kayak nenek-nenek lagi sekarat gara-gara cewe itu."
Gadis yang berada di layar ponsel Vino itu tidak dapat dikenali. Gadis itu adalah aku dan dia menatapku dengan mata yang lelah.
"Aku harus gimana?" Aku mengeluarkan unek-unekku. Aku tahu aku tidak bisa hidup seperti ini selamanya. Aku tidak akan bisa memiliki Gracia, tidak sekarang dan tidak nanti. Memikirkan hal itu hanya membuat hatiku semakin perih.
Vino mengajakku untuk duduk di salah satu kursi kampus. Setelah beberapa saat, Vino mulai bertanya dengan sopan.
"Jadi... bisa ceritain detailnya ke gue? Apa yang terjadi antara lo dan... siapa namanya? Gracia?"
"Gak ada yang namanya aku dan Gracia," jawabku sambil menatap lurus kedepan, dimana para mahasiswa lain sedang berlalu-lalang.
"Iya?" Korek Vino lebih dalam dengan lembut.
"Pertemuan kami secara gak di sengaja. Dia minjem korek dan besoknya, aku ngeliat dia didepan pintuku seakan dia nunggu kedatanganku. Rasanya... menggetarkan melihat dia disana, Vino. Besoknya, kami... berciuman dan dia menghilang selama tiga bulan. Tiga hari lalu, dia dateng ke kampus ini dan dia bilang dia kangen aku."
"Iya? Kok lo gak cerita ke gue?" Tanya Vino tidak percaya.
"Kamu bukan ayahku, Vino."
Pria itu mengangkat alis sebelah kanannya, "Jadi kapan lo sadar kalo lo jatuh cinta sama dia?"
Aku tidak tahu apakah cukup bijak jika menceritakan hal ini pada Vino, tapi aku tidak melihat orang lain yang bisa lebih dipercaya daripada Vino. Pria ini adalah satu-satunya laki-laki yang mengerti diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
August's Snow
Fiksi PenggemarCredit goes to btwkm13 as the writer. Hanya mengubah bahasa, karakter dan sedikit hal didalamnya. Enjoy!