Theme 8: Salvation

2.1K 250 86
                                    

!!WARNING!!

Chapter ini mengandung kekerasan yang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan terganggu.
......................................................................

Buku-buku jari gue berubah memutih ketika memegangi pipi gue dari rasa sakit yang menusuk. Air mata mengaliri wajah gue. Darah merembes keluar dari sudut bibir gue yang robek.

"Kenapa lo nangis, Gre? Gak kayak lo yang biasanya," ucap Nino sambil berlutut di hadapan gue. Tangannya mengusap tangan gue dengan lembut seakan dia gak pernah menampar gue beberapa saat yang lalu.

Gue gak mau menjawab. Gue memalingkan wajah darinya, melihat wajahnya hanya membuat gue ingin muntah. Sekarang, ketika dia menyentuh gue, gue terpikir untuk menyayat pergelangan tangan gue. Pria ini membuat gue jijik namun gue gak bisa ngelawan dia.

"Apa lo masih mikirin cewe tadi? Dia gak akan gangguin lo lagi."

Gue ingat darah yang menyemprot keluar dari mata kanan Shani. Warnanya merah, hampir hitam, dan sangat kental. Shani terlihat kesakitan sampai dia kehilangan suaranya. Air mata gue jatuh dengan deras ketika gue mengingat apa yang terjadi.

Shani buta... gara-gara gue.

"Dia mahasiswi seni," gue berbicara datar sambil menatap ke depan. "Lo ngebuat dia buta. Dia gak akan pernah bisa ngelukis lagi."

"Cuma mata kanannya kok. Gak lebih," Nino mengedik tidak peduli. Tangannya perlahan menyusuri kaki gue yang terekspos, mengusap dan dan memijat kulit gue.

Sentuhan Nino membuat tubuh gue gemetar, tapi bukan rasa nikmat. Rasanya sangat menjijikan seperti ada ribuan semut berjalan di atas kulit gue. Ketika gue menunduk, gue menyadari Nino belum mencuci darahnya, darah milik Shani, dari tangannya. Dan sekarang dia menyentuh gue dan mengusapkan darah itu di kaki gue...

Shani.

"Shani..." gue merengek dan mulai menangis tak terkendali. Gue mengusap sebagian darah Shani yang berada di paha dengan tangan gue dan mengepalkannya dekat jantung gue. Darahnya masih hangat.

Sebuah kepalan tinju menghantam wajah gue, membuat gue jatuh terlentang di atas kasur. Ranjangnya berderit ketika Nino menahan gue dengan paksa di atas kasur yang keras. Mata gue masih berlinangan air mata tapi gue bisa melihat amarah yang meluap-luap dalam netra kelam Nino.

"Apa lo lupa sama tujuan lo? Lo gak seharusnya jatuh cinta sama siapapun, pelacur!!" Bisiknya kasar. Kemudian dia menggigit daun telinga gue membuat gue berteriak kesakitan.

"Tolong jangan sakitin gue!" Gue memohon padanya meskipun gue tahu Nino jauh dari kata baik hati. "Gue akan ngelakuin apapun, please..."

Nino tidak ingin mendengar ocehan gue. Dia mengangkat tangannya yang besar dan menghantam gue lagi tepat dibagian perut. Tinjunya terlalu telak, rasa sakitnya tidak bisa di jabarkan seakan dia baru saja menusuk perut gue dengan tangannya dan menarik keluar organ-organ dalam gue.

"Agh!" Tiba-tiba Nino membalik tubuh gue sehingga gue berbaring memunggungi dia. Gue bisa mendengar saat ini dia sedang menurunkan resleting celananya. Nggak lama setelah itu, dengan mudah dia merobek celana dalem gue dan mengekspos bokong gue ke udara.

"Apa yang bisa dia kasih ke lo, Gracia? Dia gak punya apa yang gue punya!" Gue berteriak ketika dia menampar bokong gue.

"Gue lah alasan lo bisa berdiri di dunia ini! Nyokap lo ngebuang lo! Bokap lo nyiksa lo!"

Mata gue terpejam erat ketika ingatan dari masa lalu mulai memenuhi pikiran gue. Ingatan itu sangat jelas, seperti menonton film jelek dengan kualitas tinggi. Gue melihat seorang gadis kecil berdiri di tengah jalan, menangis terisak sementara hujan mengguyurnya. Dia memanggil-manggil nama ibunya tapi ibunya tidak terlihat di manapun.

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang