Theme 13: Lost

1.9K 225 15
                                    

Ini belum di proofread ehehe
Enjoy!

......................................................................

"Lo keliatan stress banget, Nal."

Kinal berbalik dan melihat rekan kerjanya, Jeje, berdiri di sebelahnya. Gadis itu memegang dua cangkir kopi. Dia memberikan satu cangkir pada gadis yang lebih tua itu namun Kinal menolaknya lembut. Gadis berambut kecoklatan itu kemudian duduk disamping Kinal. Dia mengambil salah satu berkas dan membacanya pelan.

"Oh, kasus Nino Hamdan. Masih belum lo selesain?"

"Sebenernya sih udah," jawab Kinal berbisik. Kasus ini sudah selesai namun Kinal dengan sengaja menundanya. Dia berbohong pada atasannya mengenai butuh lebih banyak waktu ketika segala yang ia butuhkan sebenarnya sudah didapat. Sebenarnya, Kinal sedang mengulur waktu. Dia butuh waktu untuk melakukan refleksi diri. Pengakuan Gracia berbekas di hatinya, bekas yang tidak akan mudah untuk di hilangkan.

"Siapa pembunuhnya?"

"Shania Gracia. Dia mengakui semua yang dia lakukan."

Jeje mengangkat alis dan menatap Kinal bingung, "Terus kenapa belum lo tangkep?"

"Gracia nembak Nino karena dia di perkosa. Dia ngelakuin itu untuk self-defense," jawab Kinal lelah. Dia melepaskan kacamatanya dan menekan batang hidungnya. Dia benci kasus ini.

Jeje mengernyitkan hidungnya. Melihat dari ekspresinya, dia terlihat jijik.

"Tapi tetep aja... testimoninya dia masih dibutuhin. Kalo emang bener dia ngebunuh cowo itu untuk self-defense, dia harus... ugh, gue gatau namanya. Tanya ke Ve, dia kan pinter." Ujar Jeje.

"Iya. Tapi gue rasa ini bakal sulit. Menimbang dari kondisi mental Gracia yang gak sehat sekarang ini, gue bakalan butuh lebih banyak waktu."

Polisi yang lebih muda itu tersenyum kecut, "Lo benci kasus ini, ya?"

Kinal sangat membenci kasus ini, tapi dia tahu dirinya merasakan sesuatu yang lebih. Dia merasa kasihan, bahkan empati, terhadap Gracia dan juga Shani. Perlu di ingat bahwa Kinal tidak pernah melibatkan perasaan pada kasus apapun yang ditangani olehnya. Dalam pekerjaannya, hanya logika dan intuisi yang dapat ia andalkan. Perasaan hanya akan membuatnya semakin jauh dari tujuannya. Melihat Shani dan Gracia tiga hari yang lalu telah membuat Kinal merubah pikirannya. Dia tidak bisa melihat Shani dan Gracia hanya  sebagai korban dan tersangka saja.

"Mau kemana?" Tanya Jeje ketika Kinal bangkit dari kursinya dan berjalan kearah pintu.

"Jenguk Shani sama Gracia. Ada sesuatu yang mau gue omongin," jawab Kinal pelan. "Mau ikut gak?"

Jeje mengangguk, "Oke."

...

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika Kinal dan Jeje tiba di rumah sakit. Sudah lewat dari jam besuk tapi tidak seorangpun dari mereka yang peduli. Mereka polisi dan mereka dapat menggunakan dtatus mereka untuk mendapatkan keuntungan. Perawat jaga pun tidak keberatan setelah Kinal meminta untuk bertemu Shani, meskipun wanita itu jelas terlihat kesal. Perjalanan menuju ruangan Shani penuh dengan keheningan. Kinal sedang berada di dunianya sendiri sementara Jeje sibuk membaca notebooknya; mungkin dia sedang membaca kasusnya sendiri.

"Gue tunggu di sini," ucap Jeje ketika mereka sampai di depan kamar Shani.

Kinal mengangguk dan membuka pintu. Di sanalah Shani, duduk di atas ranjang dengan mata tertuju pada pemandangan malam diluar. Dia terlihat lebih baik di bandingkan tiga hari lalu. Dia mengenakan gaun rumah sakit berwarna biru, perban matanya sudah diganti dengan yang baru dan wajahnya tidak sepucat sebelumnya. Kinal tersenyum lembut.

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang