Theme 9: Friend

1.9K 247 19
                                    

Raja Vino Firmandiaz adalah seorang yang sangat jarang merasakan gugup. Dia sudah menguasai seni pengendalian diri karena itulah dia tidak pernah canggung atau gugup ketika situasi berubah menjadi buruk. Namun, saat ini, Vino sangat jauh dari kata tenang. Dia sudah menghabiskan waktu selama dua jam di koridor rumah sakit menunggu operasi selesai. Dia berjalan kesana-kemari, menggumamkan kata-kata yang sulit didengar. Terkadang dia menggingit ibu jarinya sendiri, yang mana biasanya ia benci, untuk mengurangi ketegangan.

Vino tidak pernah menyukai rumah sakit. Faktanya, ia selalu berusaha keras untuk menghindari tempat terkutuk ini. Warna putih pucat dari dinding rumah sakit, aroma obat-obatan yang bertebaran di udara dan suasana yang tenang namun mencekam yang mengelilinginya membuat perut Vino merasa mual.

Semuanya terjadi dua puluh menit yang lalu. Vino sedang berada di asrama, belajar untuk ujian ketika dia menerima sebuah panggilan tak terduga. Sang penelpon menggunakan ponsel Shani karenanya Vino berasumsi itu adalah Shani, namun ternyata asumsinya salah. Sang penelpon adalah seorang pria yang menyebut diri sebagai polisi dan pria itu mengatakan dirinya membawa Shani Indira Natio dan seorang gadis tak dikenal ke rumah sakit. Berita itu hampir membuat Vino menarik rambutnya karena frustasi. Tanpa bertanya, Vino tahu gadis tak dikenal itu tidak lain adalah Gracia dan kemungkinan sebelumnya Shani melakukan sesuatu yang buruk.

Kalau saja Vino tahu semuanya akan menjadi seperti ini, Vino tidak akan pernah membiarkan Shani pergi dari apartemen. Si bego yang otaknya sekelas sama ubur-ubur!! Vino tidak bisa berhenti memaki nama Shani sejak dalam perjalanan ke rumah sakit hingga sekarang ini.

"Sial, Shani. Kalo lo berani-beraninya mati, sumpah gue bakal manggil arwah lo dan ngebangsat-bangsatin lo sebelum ngelempar lo balik ke neraka!" Vino memaki sambil terus menatap pintu ruang operasi di depannya.

Beberapa saat kemudian, lampu ruang operasi redup. Pintunya terbuka, memunculkan tiga orang perawat dengan sebuah ranjang rumah sakit tempat Shani terbaring tak sadarkan diri. Vino membuka mulutnya hendak bertanya namun para perawat sangat cepat melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang hendak di lontarkan oleh Vino.

"Hey dok!" Vino beralih pada dokter yang baru saja melangkah keluar dari ruang operasi. Vino dapat melihat sebuah nametag pada jubah operasi sang dokter.

J. Vernando

"Ya?" Sang dokter menjawab dengan sopan.

"Saya Vino dan ya, senang bertemu dengan anda juga. B-Bagaimana..." Vino dapat mendengar suaranya pecah. Sial! Insiden ini pasti sangat parah sampai dirinya harus terbata-bata seperti ini.

Vino mencoba lagi. Dia berdeham sampai rasa menusuk di tenggorokannya menghilang, "Apa Shani masih hidup?"

Vernando tersenyum getir. Pria itu terlihat antara bahagia dan juga kecewa. "Dia selamat namun kondisinya masih kritis. Dia juga mengalami patah tulang rusuk. Dia kehilangan banyak darah karena terlambat menerima penanganan medis."

Vino mengepalkan kedua tangannya ketika mendengar hal itu, "Dan mata kanannya?"

Vernando menghela napas dan menggelengkan kepalanya, "Maaf. Saya tidak bisa menyelamatkan mata kanannya."

Keheningan yang mencekam mengelilingi kedua pria itu ketika berdiri layaknya patung ditengah-tengah koridor berwarna putih.

"Apakah sementara atau..."

"Permanen. Lukanya terlalu dalam. Bola matanya hampir seluruhnya hancur," jawab Nando.

Vino tidak dapat mengatakan apapun. Shani buta. Gadis itu kini cacat. Dan bagaimana dengan kuliahnya sebagai mahasiswi seni? Dia akan mendapat banyak kesulitan kalau dia buta! Dia tidak akan pernah diterima kembali oleh universitas. Bagaimana dengan mimpinya yang ingin bekerja di sebuah perusahaan design ternama?

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang