Theme 1: We

6.1K 395 25
                                        

Hujan turun dengan deras ketika aku sampai di halte bus. Tengah malam hanya berjarak beberapa detik lagi. Mataku sudah berat dengan kantuk namun aku tidak memiliki keberanian untuk memejamkannya. Rumahku tidak jauh, tapi aku merasa begitu malas untuk kembali.

Sebuah rumah bukanlah rumah jika aku tidak memiliki seorangpun yang menunggu kepulanganku.

Aku menunggu seorang diri, memperhatikan hujan yang jatuh kebumi dalam diam sampai sebuah suara memecahkan lamunanku.

"Lo punya korek?"

Aku menoleh dan melihat seorang gadis berdiri disampingku. Dia mengenakan make up tebal, rambut berwarna kecoklatan dan baju yang kekurangan bahan.

Aku bukan seorang perokok, tapi aku selalu membawa sebuah korek di kantungku. Aku memiliki fetish yang tidak sehat pada korek. Setiap kali aku memiliki kesempatan, aku selalu menyalakan korek tersebut. Mungkin aku suka melihat api berwarna biru kekuning-kuningan yang muncul setiap kali korek dinyalakan. Di lain sisi, mungkin aku memiliki rahasia gelap ingin membakar sesuatu dengan api itu.

Siapa yang tahu?

Gadis itu tersenyum, sopan namun palsu. Dia menyalakan korek dan membakar lintingan tembakau yang berada dimulutnya.

"Kamu harusnya jangan merokok, rokok itu bisa membunuhmu nanti."

"Kita semua akan mati nantinya."

"Kalo kamu mati, ada seseorang yang akan sedih."

Aku dapat merasakan hatiku sedikit berdarah dan aku merasa seperti seorang hipokrit. Bagaimana bisa aku mengatakan hal seperti itu ketika aku sendiri tidak memiliki siapapun dalam hidupku?

"Yah kalaupun ada yang sedih, pasti master atau klien tetap gue."

"Aku pasti sedih."

Gadis itu hampir menjatuhkan rokoknya. Dia pasti berpikir aku memiliki gangguan mental atau sejenisnya.

"Kenapa lo harus sedih?"

Aku mengedik sambil bangkit dari tempat dudukku. Busnya sudah datang.

"Mungkin karena aku selalu merasa berempati pada orang asing."

...

Di malam yang lain, aku menemukan seseorang didepan pintu rumahku.

Gadis yang meminjam korekku kini mengunjungiku. Dia masih mengenakan pakaian kurang bahan meskipun make up-nya tidak terlalu tebal seperti pada awal pertemuan kami.

"Hai."

Dia tersenyum dan aku mengernyitkan keningku. Kepalaku berdenyut dan aku sangat lelah. Melihat gadis ini disini dengan senyum diwajahnya hanya melipat gandakan rasa sakitku.

"Apa yang kamu inginkan?"

Dia meraih tanganku dan meletakkan sebuah korek gas diatasnya.

"Thanks."

Tanganku terasa hangat dan aku tidak tahu apakah ini disebabkan oleh korek tadi atau sentuhan gadis itu.

"Bagaimana bisa kamu memasuki tempat ini?"

Aku memutuskan untuk mengganti topik. Aku tidak tahan dengan kesunyian ini karena rasanya begitu menyesakkan, terutama ketika gadis itu menatapku dengan matanya yang bulat.

"Yang punya kost ngijinin gue masuk. Nggak sesulit itu kok untuk ngebujuk dia."

Aku tidak ingin tahu bagaimana dia 'membujuk' pemilik kos karenanya aku memutuskan untuk menanyakan pertanyaan lain.

"Bagaimana kamu tau tempat tinggalku?"

Tawa kecilnya seperti sihir. Bagaimana bisa tawanya membuat jantungku menggila itu berada diluar logikaku.

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang