"Nona!! Anda masih belum boleh bangun!"
"Saya tidak peduli!" Bentakku pada perawat ketika aku berjalan dengan cepat di koridor tanpa peduli bahwa aku hanya mengenakan gaun rumah sakit, berjalan tertatih, dan mengenakan perban di mata kananku.
"Nona Shani, dokter Melody bilang anda masih belum boleh bergerak! Anda akan terkena masalah!" Suster tersebut mencoba mempersuasiku namun gagal dengan menyedihkannya.
"Berisik!"
"Ada apa ini?" Aku menoleh dan melihat seorang wanita mungil, kemungkinan seorang dokter, memperhatikanku dengan penuh tanda tanya. Terdapat garis merah di lehernya seakan seseorang baru saja mencekiknya.
"Ah dokter. Gadis ini ingin bertemu dengan pasien itu," sang suster menjawab dengan hati-hati. Caranya memperhatikan leher dokter itu menarik perhatianku.
Dokter mungil itu menaikan kedua alisnya. Dia terlihat sedikit tidak nyaman ketika ia mengusap lehernya. Tanda merah itu terlihat menyakitkan; siapapun yang mencekiknya, mereka pasti berniat untuk membunuhnya.
"Siapa namamu?" Tanya dokter itu dengan ramah padaku.
"Shani Indira."
Dokter itu memperhatikanku, pada mata kananku lebih tepatnya. Dari kernyitan di keningnya, aku dapat menebak dia sedang memikirkan sesuatu.
"Menatap terlalu lama itu tidak sopan," aku menyinggungnya.
"Oh maaf. Ehem, nama saya Melody Nurramdhani dan saya bertanggung jawab untuk Nona Gracia," ucapnya sambil tersenyum. Senyumnya memang sopan tapi aku dapat merasakan ketidaknyamanan di dalamnya.
"Dimana dia?"
"Ayo kita bicarakan hal ini sambil berjalan menuju ruangannya, oke?" Wanita itu meraih tanganku dan menarikku keluar dari koridor ini.
"Kemana anda membawa saya? Dimana ruangan Gracia?" Tanyaku pada Melody ketika kami memasuki lift. Melody menekan tombol B2 dan perlahan lift berjalan menuju lantai yang lebih rendah.
Melody tidak langsung menjawab. Malahan matanya tertuju pada lantai.
"Dok, saya sedang bertanya pada anda!" Aku menggoyangkan lengan wanita itu tidak sabaran.
Sebenarnya saat ini mata kananku terasa sakit sekali tapi ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan rasa rindu pada Gracia. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan bahwa dia baik-baik saja. Aku mengepalkan tinju ketika mengingat pria besar itu, pria bernama Nino itu. Dia menyakiti Gracia dan juga menusuk mataku.
"Ada sesuatu yang harus saya katakan sebelum kita sampai," Melody memulai. Dia bicara dengan hati-hati seakan ia ingin memberitahuku tentang fakta mengenai konspirasi dunia. "Saat ini Gracia tidak sedang dalam kondisi yang baik."
"Apa yang terjadi padanya?"
"Dia mengalami trauma hebat dan sekarang, dia sedang mengalami mild mental breakdown. Kami takut dia akan menyebabkan kekacauan karenanya kami menempatkannya di ruang isolasi," Melody kemudian menuntunku menuju sebuah ruangan yang berada di ujung koridor. Langkah kami menggema terpantul dinding yang kosong.
"Ruang isolasi?" Aku mengulang kata-kata Melody sedikit lebih keras. "Apa yang sudah dia lakukan?"
Melody menghela napas. "Dia mengamuk dan kami harus... yah, menempatkannya di tempat yang aman. Kita tidak bisa membiarkannya berkeliaran di rumah sakit kan?"
"Dan leher anda?"
Melody berhenti tepat ketika ia hendak mengambil kunci. Pundaknya jatuh dan tidak membutuhkan seorang jenius untuk melihat bahwa wanita itu terlihat tidak nyaman, "Dia yang melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
August's Snow
FanfictionCredit goes to btwkm13 as the writer. Hanya mengubah bahasa, karakter dan sedikit hal didalamnya. Enjoy!