Bagian ini belum di proof read. Siapin aspirin wkwkwk. Enjoy!
......................................................................
Ini adalah hari Minggu yang tentram
bagiku. Aku memiliki rencana untuk menyelesaikan lukisanku hari ini karena aku gagal menyerahkannya tepat waktu karena sesuatu, atau seseorang, menggangguku hari itu. Aku sangat berterima kasih dosenku cukup berbaik hati memberiku kesempatan lain untuk mengejar ketinggalan. Yah, hari yang seharusnya tentram ini menjadi berantakan ketika tiba-tiba saja Vino muncul didepan pintuku."Lo harus selesain ini," ucap Vino, sambil menunjuk sebuah gambar yang tergeletak diatas lantai. Gambar Gracia. Gambar tersebut masih sama seperti sebelumnya, masih setengah jadi.
"Enggak. Itu gagal, gak ada gunanya lagi diterusin."
Vino tertawa ringan sambil menepuk pundakku, "Sayang banget. Gambarnya bagus banget" kemudian dia menatap gambar itu selama beberapa saat dan mengangguk. "Yap, dia sangat cantik untuk ukuran seorang pelacur."
"Dan aku berhubungan sex sama dia."
Kali ini, Vino terbatuk-batuk keras seakan terdapat sebuah batu yang menyumbat tenggorokannya, "Holy shit, Shani! Lo serius?"
"Sex ya sex, Vino. Gak ada yang spesial," jawabku tanpa melihat kearahnya.
Saat ini kami berada didalam kamar apartemenku. Tanganku bergerak diatas kanvas, menciptakan garis dan lekukan. Saat ini aku sedang mengerjakan tugas akhirku sementara Vino disini untuk menggangguku seperti yang biasa ia lakukan. Kalau saja situasinya berbeda, aku akan menimbang untuk menyerahkan gambar Gracia sebagai tugas akhir, namun terkadang segala sesuatu tidak berjalan seperti yang sudah di rencanakan.
"Hm... mungkin lo harus periksa darah. Untuk jaga-jaga aja," komentar Vino dengan kasualnya sambil duduk bersandar pada punggung sofa. "Bisa aja dia nularin AIDS ke lo."
Kalimat sinis Vino tidak mempengaruhiku. Aku sudah terbiasa mendengarnya dan Vino pun tahu bahwa aku tidak pernah menggubris perkataannya. Hubungan kami selalu tentang omelan atau sarkasme, memang kasar dan tidak mulus tapi kami tidak dapat melepaskan satu sama lain. Vino adalah orang yang hebat begitu kalian mengenalnya dan, walaupun aku tidak pernah mengakuinya, saran yang diberikannya selalu benar.
"Udah dan hasilnya negatif," jawabku jujur. "Apa kamu pikir aku senaif itu?"
Vino menyeringai dan aku tidak perlu menjawabnya. Aku dapat mendengar suara langkah kaki Vino yang samar ketika ia berjalan-jalan dalam ruangan. Satu detik kemudian, dia berhenti dan duduk di sampingku.
"Apa lo melarikan diri dari dia?"
Ini adalah satu permainan psikologikal Vino. Vino selalu melakukan hal ini pada orang-orang di sekitarnya karena dia pikir menganalisa perilaku orang lain itu keren. Dia bilang jika kalian bisa menganalisa orang, akan mudah bagi kalian untuk memanipulasi mereka dan membuat mereka menjadi boneka kalian. Vino memandang semua orang didunia ini sebagai subject tes. Dia tidak pernah melihat mereka sebagai manusia tapi sebagai pasien yang memiliki masalah mental dan harus diberi konsultasi. Aku satu dari beberapa pengecualian. Jangan salah, Vino juga memainkan permainan itu padaku tapi untuk alasan yang berbeda. Dia melihatku sebagai temannya, sebagai manusia dan bukan sebagai subject tes.
"Dia yang melarikan diri, bukan aku."
"Iya? Dia bilang apa?"
Aku menghela napas, sebagian karena aku merasa lelah, "Dia berbicara tentang Tuhan dan kebencianNya pada manusia. Dia bilang cinta adalah hal paling buruk yang dapat terjadi dalam hidup manusia. Semua itu omong kosong tapi dia terdengar begitu marah."
KAMU SEDANG MEMBACA
August's Snow
FanfictionCredit goes to btwkm13 as the writer. Hanya mengubah bahasa, karakter dan sedikit hal didalamnya. Enjoy!