Theme 6: Riddles

2.3K 254 26
                                    

Ada sesuatu yang gak beres sama perut gue. Gue tahu karena akhir-akhir ini, gue selalu muntah-muntah setiap kali gue bangun tidur. Bukan hamil. Gue gak sebego itu ngebiarin cowok-cowok bangsat itu make gue tanpa pengaman. Hidup gue udah menderita dan gue lebih pilih mati daripada harus punya bayi.

Di sinilah gue lagi, duduk di kamar mandi dengan pipi gue nempel di tutup toilet, siap untuk muntah tapi gak ada apapun yang keluar.

Apa yang salah sama gue?

Suara air yang disiram berdering didalam telinga gue ketika gue memperhatikan bayangan gue sendiri didalam cermin. Nggak ada yang berubah. Gue masih Shania Gracia yang sama, seksi, cantik, jahat dan busuk.

"Apa yang lo pikirin, Gracia?"

Cermin gak pernah bicara. Dia gak pernah ngejawab satupun pertanyaan gue.

"Apa lo mikirin dia? Mikirin pernyataan cintanya?"

Cermin gak pernah merengek, terisak atau menangis.

"Dia bego kan? Lagian dia itu mikir apa sih? Tiba-tiba ngomong begitu ke gue..."

Gak peduli apapun yang gue lakukan, cermin gak pernah melakukan apapun kecuali menatap balik gue.

"Dia pikir cinta aja cukup hah? Dia pikir cinta bisa menolong gue? Dia pikir dia itu Tuhan dan dia bisa menyelamatkan gue?"

Gak ada yang menjawab. Begitu juga dengan bayangan gue...

"Brengsek!!!"

Bayangan yang berada di hadapan gue berubah menjadi wajahnya. Rambut hitam panjang, sepasang mata dan juga ekspresi yang dingin... itu dia. Wajahnya sama seperti kemarin ketika dia mengungkapkan perasaannya ke gue.

Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cinta kamu. Aku cin-

Gue melemparkan sebuah botol kosong ke cermin, membelah bayangan dirinya menjadi serpihan-serpihan. Bayangannya menghilang, suaranya menghilang dan gue sendirian lagi. Tubuh gue ambruk ke lantai karena kaki gue menolak untuk berfungsi dengan baik. Ruangan ini terlalu menyebabkan claustrophobia untuk gue. Mata gue bergerak-gerak liar ke seluruh ruangan, mencoba menemukam jalan keluar apapun. Ada jendela diatas sana tapi dikunci dengan rapat. Gue mempunyai pikiran untuk menghancurkan jendela itu dan melompat keluar tapi kemungkinan untuk patah tulang membuat gue jadi gak terlalu bernafsu.

Aku cinta kamu, Gracia.

"Gue gak cinta sama lo!"

Fuck.

Tempat ini rasanya kayak rumah sakit jiwa, dan gue bahkan gak gila...

Belum.

...

Ketika gue sampai di bar, hal pertama yang menyambut gue adalah sebuah botol vodka yang melayang. Sangat beruntung gue berhasil menghindar tepat waktu sebelum benda itu menghantam wajah gue. Suara botol vodka yang hancur menggema didalam ruangan ini. Saat ini masih terlalu sore untuk bar ini mulai beroperasi, tapi gue punya cara sendiri untuk masuk ke tempat ini dan semua orang tahu mereka gak bisa ngelarang gue untuk gak masuk kesini.

"Barnya belom buka!" Terdengar sebuah teriakan. Suaranya terlalu tinggi dan membuat telinga gue sakit.

"Bukannya ini masih terlalu sore untuk lo mabok-mabokkan ya, Ci Desy?" Tanya gue pada gadis mabuk yang sedang duduk dimeja bundar dengan seorang gadis lainnya. Rupanya, Ci Desy yang ngelempar botol tadi ke gue.

"Ah Gracia," Kak Lidya, si bartender gila, menyapa gue. Dia mengangkat cangkirnya dan tersenyum ke gue, "Mau ikut gabung di pesta teh?"

"Boleh," balasku sambil duduk disamping Kak Lidya.

August's SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang