"Jika Bo toako bilang bukan dia yang menurunkan tangan jahat, itu tentu benar!" kata Thiat-mo-lek. Pada waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, nadanya sudah berubah parau, menandakan bahwa racun telah bekerja. Ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan lwekangnya.
Mendengar bahwa Thiat-mo-lek mengatakan bukan dia yang meracuni, wajah Se-kiat agak berseri, pikirnya: "Ah, tak kira kalau Thiat toako masih mempercayai aku!"
Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dan masuklah Tiau-ing ke dalam ruangan. Dengan tertawa mengikik nona itu berseru: "Thiat cecu, kau benar-benar pandai melihat orang. Memang bukan Se-kiat tetapi akulah yang menaruh racun itu!"
Kata-kata itu bagaikan halilintar memecah bumi di siang bolong. Khik-sia sampai kaget terlongong-longong.
"Tiau-ing, kau ...." seru Se-kiat dengan gemetar.
"Seorang jantan harus mempunyai ketetapan. Jika sekarang tak kau lenyapkan Thiat-mo-lek, kelak tentu bakal merupakan bahaya besar!" sahut Tiau-ing dengan tegas.
"Tutup mulutmu!" bentak Se-kiat.
Tiau-ing tertawa mengejek: "Menangkap harimau mudah, melepaskannya sukar. Kau mau menjadi raja, mengapa pusingkan urusan persaudaraan? Jika kau tak mendengarkan kataku, menyesal kelak tak berguna!"
Saat itu pikiran Khik-sia sudah sadar. Segera berkobarlah amarahnya. Tapi ketika ia hendak bertindak menyerang Tiau-ing, tiba-tiba didengarnya derap kaki mendatangi. Ia cepat berpaling dan menampak empat orang tak dikenal yang dilihatnya tadi. Kiranya mereka itu adalah pengawal dari Bo Jong-long di pulau Hu-siang-to (ayah Bo Se-kiat). Setelah mendapat kedudukan di Tiong-goan, barulah Bo Se-kiat memanggil keempat orangnya itu.
Terkilas dalam pikiran Khik-sia bahwa saat itu piauko-nya sedang keracunan, maka iapun tak berani bertindak gegabah. Dengan pedang di tangan ia siap mengawal di samping Thiat-mo-lek. Pikirnya: "Mati atau hidup, semuanya tergantung pada Bo Se-kiat! Hm, jika ia berani bertindak aku tentu akan mengadu jiwa. Lebih dulu akan kubunuh perempuan hina itu!"
Memang dalam hal ilmu silat, Se-kiat lebih tinggi sedikit dari Khik-sia. Apalagi ditambah dengan keempat pengawalnya itu serta Tiau-ing. Jika Se-kiat benar-benar mau berbalik muka, jangankan hendak melindungi jiwa sang piauko, sedang jiwanya sendiripun sukar dipastikan.
Wajah Se-kiat berubah-rubah tak berketentuan. Rupanya terbit pertentangan dalam batinnya. Sementara Khik-sia sambil mecekal pokiamnya dengan tangan yang basah keringat, matanya tak berkesiap memandang ke arah Se-kiat. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba mata Se-kiat terbeliak lalu berseru keras: "Siapa yang suruh kalian datang kemari, hai! Lekas pergi!"
Keempat pengawal itupun saling berpandangan dan terpaksa ngeloyor pergi.
"Se-kiat apakah kau tak mengetahui bahwa orang yang berhati kecil itu bukan seorang ksatria, yang tak ganas bukan seorang jantan!" seru Tiau-ing.
Sebaliknya mengimbangi, dengan tegas Se-kiat membentaknya: "Ambil obat penawarnya!"
"Apa?" teriak Tiau-ing.
"Berikan obat penawarnya padaku. Kalau tidak, hubungan kita putus sampai di sini!" sahut Se-kiat.
Tiau-ing menghela napas. Dikeluarkannya obat penawar, ujarnya: "Se-kiat, tak mengapa kuberikan obat ini, tapi kukuatir kau bakal kehilangan lagi bumi yang sudah berada di tanganmu!"
Se-kiat berseru nyaring: "Bumi tetap akan kuambil. Tetapi seorang ksatria harus mengambilnya dengan cara gemilang. Aku tak mau mengkhianati saudara angkat!"
Segera ia menyambuti obat dari Tiau-ing terus diberikan kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: "Thiat toako, sejak saat ini kita ambil jalan sendiri-sendiri. Aku akan membawa orang-orangku keluar dan kau jangan mengurusi aku lagi!"
![](https://img.wattpad.com/cover/111961118-288-k877170.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie Shen
General FictionLanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat direkomendasikan untuk dibaca (must read), bahkan dari beberapa pengamat memberikan bintang 5 untuk tri...