Jilid 17

850 16 0
                                    

"Jika Bo toako bilang bukan dia yang menurunkan tangan jahat, itu tentu benar!" kata Thiat-mo-lek. Pada waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, nadanya sudah berubah parau, menandakan bahwa racun telah bekerja. Ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan lwekangnya.

Mendengar bahwa Thiat-mo-lek mengatakan bukan dia yang meracuni, wajah Se-kiat agak berseri, pikirnya: "Ah, tak kira kalau Thiat toako masih mempercayai aku!"

Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dan masuklah Tiau-ing ke dalam ruangan. Dengan tertawa mengikik nona itu berseru: "Thiat cecu, kau benar-benar pandai melihat orang. Memang bukan Se-kiat tetapi akulah yang menaruh racun itu!"

Kata-kata itu bagaikan halilintar memecah bumi di siang bolong. Khik-sia sampai kaget terlongong-longong.

"Tiau-ing, kau ...." seru Se-kiat dengan gemetar.

"Seorang jantan harus mempunyai ketetapan. Jika sekarang tak kau lenyapkan Thiat-mo-lek, kelak tentu bakal merupakan bahaya besar!" sahut Tiau-ing dengan tegas.

"Tutup mulutmu!" bentak Se-kiat.

Tiau-ing tertawa mengejek: "Menangkap harimau mudah, melepaskannya sukar. Kau mau menjadi raja, mengapa pusingkan urusan persaudaraan? Jika kau tak mendengarkan kataku, menyesal kelak tak berguna!"

Saat itu pikiran Khik-sia sudah sadar. Segera berkobarlah amarahnya. Tapi ketika ia hendak bertindak menyerang Tiau-ing, tiba-tiba didengarnya derap kaki mendatangi. Ia cepat berpaling dan menampak empat orang tak dikenal yang dilihatnya tadi. Kiranya mereka itu adalah pengawal dari Bo Jong-long di pulau Hu-siang-to (ayah Bo Se-kiat). Setelah mendapat kedudukan di Tiong-goan, barulah Bo Se-kiat memanggil keempat orangnya itu.

Terkilas dalam pikiran Khik-sia bahwa saat itu piauko-nya sedang keracunan, maka iapun tak berani bertindak gegabah. Dengan pedang di tangan ia siap mengawal di samping Thiat-mo-lek. Pikirnya: "Mati atau hidup, semuanya tergantung pada Bo Se-kiat! Hm, jika ia berani bertindak aku tentu akan mengadu jiwa. Lebih dulu akan kubunuh perempuan hina itu!"

Memang dalam hal ilmu silat, Se-kiat lebih tinggi sedikit dari Khik-sia. Apalagi ditambah dengan keempat pengawalnya itu serta Tiau-ing. Jika Se-kiat benar-benar mau berbalik muka, jangankan hendak melindungi jiwa sang piauko, sedang jiwanya sendiripun sukar dipastikan.

Wajah Se-kiat berubah-rubah tak berketentuan. Rupanya terbit pertentangan dalam batinnya. Sementara Khik-sia sambil mecekal pokiamnya dengan tangan yang basah keringat, matanya tak berkesiap memandang ke arah Se-kiat. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba mata Se-kiat terbeliak lalu berseru keras: "Siapa yang suruh kalian datang kemari, hai! Lekas pergi!"

Keempat pengawal itupun saling berpandangan dan terpaksa ngeloyor pergi.

"Se-kiat apakah kau tak mengetahui bahwa orang yang berhati kecil itu bukan seorang ksatria, yang tak ganas bukan seorang jantan!" seru Tiau-ing.

Sebaliknya mengimbangi, dengan tegas Se-kiat membentaknya: "Ambil obat penawarnya!"

"Apa?" teriak Tiau-ing.

"Berikan obat penawarnya padaku. Kalau tidak, hubungan kita putus sampai di sini!" sahut Se-kiat.

Tiau-ing menghela napas. Dikeluarkannya obat penawar, ujarnya: "Se-kiat, tak mengapa kuberikan obat ini, tapi kukuatir kau bakal kehilangan lagi bumi yang sudah berada di tanganmu!"

Se-kiat berseru nyaring: "Bumi tetap akan kuambil. Tetapi seorang ksatria harus mengambilnya dengan cara gemilang. Aku tak mau mengkhianati saudara angkat!"

Segera ia menyambuti obat dari Tiau-ing terus diberikan kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: "Thiat toako, sejak saat ini kita ambil jalan sendiri-sendiri. Aku akan membawa orang-orangku keluar dan kau jangan mengurusi aku lagi!"

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang