Jilid 11

802 18 0
                                    

Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa: "Kukira kau tak balik lagi!"

"Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi," demikian Khik-sia membatin.

Tapi Su Tiau-ing rupanya tahu apa yang dibatin anak muda itu, serunya tawar: "Di dunia tiada perjamuan yang tiada berakhir. Baiklah, kurangkai bunga untuk kupesembahkan Hud. Biarlah kusiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita."

Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci itu. Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak kemerah-merahan, suatu warna yang makin menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik-sia berdebar-debar, pikirnya: "Jika sehabis makan lantas kutinggalkan, apakah tidak kelewat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum sembuh, berada seorang diri di tengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau-kalau sampai berjumpa dengan binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti? Ai, tetapi .... tetapi .... apakah malam ini aku harus menemaninya di sini?"

Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di sela-sela daun pohon yang rindang membawakan suatu suasana yang rawan. Angin malam berhembus mengantar bau bunga hutan yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirnya seorang gadis jelita. Pikiran Khik-sia melayang-layang .... Tiba-tiba ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam yang sedemikian indah inilah ia bertemu dengan nona itu. Di taman bunga gedung Sik Ko, untuk pertama kali ia berjumpa dengan calon isterinya itu.

"Ai, wktu itu perjumpaan kita diramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memaki aku sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik, karena sikapku kepadanya juga getas-getas mengejek."

Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik-sia. Adegan yang terjadi pada lain malam di lain taman bunga pula yaitu di taman bunga Tok-ko U. --- "Seorang diri ia mondar-mandir di taman bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U..." Teringat sampai di sini, hati Khik-sia merasa pilu. Buru-buru ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak-tidak.

Di dahului dengan pecahnya sang mulut karena tertawa, berserulah Su Tiau-ing: "Apa yang kau pikirkan? Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang."

Khik-sia gelagapan. Tiba-tiba teringat olehnya:

"Pada malam dua bulan yang lalu, aku juga berjumpa empat mata dengan Su Yak-bwe. Tak nyana kalau malam ini juga menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su tapi bukan Su Yak-bwe. Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak-bwe) kan sudah mendapat orang yang dipenujuinya."

Tersipu-sipu Khik-sia menyambuti kelinci bakar itu. Karena tak hati-hati, tangannya terbentur dengan ranting yang dimasukkan ke dalam api oleh Su Tiau-ing tadi. Buru-buru ia tarik pulang tangannya.

"Ai, bagaimana kau ini? Apa yang kau pikirkan?" Su Tiau-ing tertawa.

Cepat Khik-sia bersikap sungguh-sungguh dan bertanya: "Aku hendak menanya suatu hal padamu."

"Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama?" tanya Su Tiau-ing. Ia menatap pemuda itu tajam-tajam.

Khik-sia batuk sebentar baru berkata: "Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak. Sebenarnya aku takkan mengungkat peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari itu."

Su Tiau-ing tersirat hatinya, pikirnya: "Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun, mengapa begitu memandang rendah kepada kaum pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal itu saja ia tak mengerti."

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang