Jilid 19

784 16 0
                                    

Shin Ci-koh paling menjunjung nama. Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia tentu harus menang. Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan. Untung dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa seorang tua: "Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda? Apakah tak takut ditertawai orang? Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang kau minum arak!"

Itulah Wi Gwat. Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh. Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat jauh lebih lihay dari kedua orang itu. Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut banyak dengan Co Ping-gwan. Wi Gwat dapat mencari 'timing' dan gunakan tenaga dengan tepat. Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai.

Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah. Apalagi si pengemis gila itu berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh. Amarah Shin Ci-koh menurun dan setelah menyimpan pedang ia berkata: "Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia hendak merintangi urusanku."

Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya: "Benar, urusan Shin Ci-koh hanya aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita bicara."

Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung pada Khik-sia.

"Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku? Mana aku senggang minum arak dengan kau?" seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang.

Wi Gwat tertawa: "Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum arakmu!"

"Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi," Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal tangannya oleh Wi Gwat.

"Ha, ha, apa kau belum mengerti? Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat dengan Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang!"

Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya: "Beberapa kali Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka padaku. Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah, rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah."

Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh. Mereka saling mencocoki. Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji pun mengagumi kepandaian Shin Ci-koh. Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri yang ideal. Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti. Ia anggap nama itu tidak baik. Gong-gong-ji pun takut akan watak Shin Ci-koh yang keras. Segala apa harus menurut perintahnya. Kalau sudah menjadi suami isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya. Itulah sebabnya maka ia tak mau membicarakan soal pernikahan.

Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan Shin Ci-koh itu makin mendalam. Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu.

Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga. Karena sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu. Untuk melampiaskan kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas. Dan karena keganasannya itu makin terkenal di dunia persilatan dan makin ditakuti orang pula. Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing. Makin terasing, ia makin merasa kesepian. Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar Gong-gong-ji. Dengan begitu terjadilah hal yang lucu. Yang satu kepingin sekali berumah tangga, yang satu takut kawin. Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji berusaha agar jangan sampai berjumpa. Begitu mencium 'bau angin' Shin Ci-koh ia sudah lari kalang kabut.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang