Kawanan serdadu yang menjaga pintu menjerit kaget. Kiranya orang itu adalah seorang wanita. Kedengaran wanita itu memaki seorang diri: "Penasaran, sungguh penasaran sekali! Kukira muridku perempuan, kiranya pesakitan yang bertenaga besar!"
Anak buah Gi-lim-kun yang memberi jalan pada Cin Sian tadi masih belum sempat merapat lagi. Gerakan wanita itu tangkas sekali. Secepat kilat ia sudah menerobos di tengah-tengah mereka. Tahu-tahu beberapa opsir telah mandi darah. Kuatir kalau di luar masih ada kawan si wanita luar biasa lagi, maka kawanan penjaga buru-buru menutup pintu. Wanita aneh itu menyusup ke dalam gelanggang. Karena di gelanggang masih berlangsung pertempuran seru, maka sekejap saja wanita itu sudah tak kelihatan bayangannya.
Kiranya wanita aneh itu bukan lain ialah suhu dari Su Tiau-ing yaitu Shin Ci-koh. Kiranya ia telah mendapat keterangan dari muridnya ke satu Liong Seng-hiang (nona penjual silat yang berhasil keluar sebelum pintu besi ditutup). Shin Ci-koh masuk ke dalam lapangan karena hendak menolong Su Tiau-ing yang dikiranya tentu berada di dalam.
Shin Ci-koh mempunyai tiga anak murid. Di antara mereka yang paling disayang adalah Su Tiau-ing, muridnya yang nomor tiga. Begitu mendapat laporan dari Liong Seng-hiang, ia tergopoh-gopoh menuju ke lapangan. Tapi saat itu, keenam pintu besar dan sembilan pintu samping sudah ditutup. Pada waktu ia mencari akal untuk masuk, tiba-tiba pintu terbuka dan sebuah kereta pesakitan didorong keluar. Mengira Su Tiau-ing berada di dalamnya, Shin Ci-koh terus memeriksanya. Tapi alangkah kagetnya ketika disambut dengan pukulan oleh Cin Siang. Celakanya, untuk melampiaskan kemarahan, beberapa opsir yang menjaga pintu itu sudah dihajarnya. Hanya dalam sedetik gerakan kawanan opsir itu kena dilukainya dengan pedang.
Selama ini Shin Ci-koh belum pernah ada yang menandingi karena itu ia menjadi angkuh. Bahwa hari itu ia kena dipukul Cin Siang, barulah yang pertama kali dalam sejarah hidupnya.
Walaupun berkat lwekangnya yang tinggi, ia tak sampai terluka namun ia terkejut juga. Pikirnya: "Kutahu kawanan opsir kerajaan itu bangsa guci arak kantong nasi semua, siapa tahu seorang opsir yang menjadi pesakitan ternyata begitu lihay sekali. Jangan-jangan Su Tiau-ing mendapat bahaya. Hm, jika berhasil menolong Su Tiau-ing, pertama yang akan kulakukan ialah mencari pesakitan itu untuk membikin perhitungan. Tapi entah dia melanggar kesalahan apa saja? Kuharap raja jangan buru-buru menghukumnya mati dulu, agar aku sempat membalas dendam padanya!"
Sebenarnya kepandaian Shin Ci-koh itu tak kalah dengan Cin Siang. Hanya dalam tenaga, Cin Siang lebih unggul sedikit. Karena tak menyangka bakal menerima pukulan, Shin Ci-koh yang tak bersiap ,telah menderita kerugian.
Di antara gundukan manusia yang tengah bertempur itu, berulang kali Shin Ci-koh meneriaki Tiau-ing sambil mencari kian kemari. Ia tak menghiraukan orang-orang itu dan orang-orang itupun tak mempedulikan ia.
Di antara yang bertempur itu, partai Thiat-mo-lek lah yang paling dahsyat. Dengan gagah perkasa Thiat-mo-lek mainkan pedangnya. Suaranya sampai menimbulkan angin menderu-deru. Dalam lingkaran beberapa tombak, pasir dan batu sama beterbangan. Dalam keadaan begitu, jangan lagi orang hendak coba memasuki lingkaran itu, sedangkan untuk berdiri tegak saja rasanya sukar.
Menghadapi dua lawan berat, memang beberapa kali pedang Thiat-mo-lek tersiak oleh pukulan Yo Bok-lo, tapi Thiat-mo-lek menggerakkan seluruh anggota badannya. Tangan kiri untuk menghantam, menutuk, menebas. Kakinya menendang, mengait dan sikunya untuk menyodok. Kesemua gerakan itu untuk mengimbangi permainan pedangnya. Walaupun beberapa kali dapat menyiakkan pedang Thiat-mo-lek, namun Yo Bok-lo tetap tak berani gunakan tangan kosong untuk merampas pedang orang. Karena itu, begitu tersiak, begitu pula dengan cepat Thiat-mo-lek dapat merapatkan pedangnya lagi.
Sepasang kait hou-thau-kau dari Bu Wi-yang pun beberapa kali hampir terpapas kutung oleh pedang Thiat-mo-lek, untung karena Yo Bok-lo buru-buru menghantam, Thiat-mo-lek terpaksa tak dapat mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kedua belah pihak bermain dengan cepat. Beberapa kali senjata mereka beradu, tapi secepatnya lantas terpental lagi. Thiat-mo-lek tak dapat memapas kutung hou-thau-kau. Bu Wi-yang tak mampun menindas pedang. Pertempuran satu lawan dua itu berimbang, tiada yang kalah tiada yang menang.
![](https://img.wattpad.com/cover/111961118-288-k877170.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie Shen
Ficção GeralLanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat direkomendasikan untuk dibaca (must read), bahkan dari beberapa pengamat memberikan bintang 5 untuk tri...