Jilid 15

882 14 0
                                    

"Anggaplah aku bukan sahabatmu, tapi sekurang-kurangnya tadi aku telah menolong jiwamu. Mengingat itu saja, pantaskah kau bersikap sedingin itu kepadaku? Kutahu kau memang tak suka menemani aku, baiklah, silahkan kau pergi sendiri!" kata Tiau-ing pula.

Teringat akan kebaikan Tiau-ing, lemaslah hati Khik-sia. Ia anggap apa yang dikatakan Tiau-ing itu memang benar. Dari marah kini ia malah kuatir jangan-jangan Tiau-ing akan marah. Maka iapun segera minta maaf kepada nona itu.

Kini tertawalah Tiau-ing: "Baiklah, karena kau menyatakan suka menemani aku, naiklah ke atas kuda."

Khik-sia tertegun, serunya: "Kau saja yang naik, biar aku berjalan."

"Kutahu kau memang bisa berjalan, tapi rasanya tak leluasa di perjalanan menggunakan gin-kang. Bukankah tadi kita juga naik kuda berdua? Apalagi kau bukan bangsa pemuda desa mengapa sekarang main malu-maluan?"

Ketika tampak Khik-sia masih ragu-ragu. Tiau-ing lanjutkan kata-katanya: "Tidakkah kau ingin lekas-lekas tiba di Tiang-an? Sesampainya di sana segera kau dapat tinggalkan aku, bukankah ini yang kau harap-harapkan? Masih ada satu hal lagi, segera setelah tiba di Tiang-an, kaupun lantas dapat mencari adikmu Bwe itu!"

Khik-sia kemerah-merahan dibuatnya, sahutnya: "Telah kukatakan, sejak saat ini kuanggap aku tak kenal padanya, mengapa kau masih mengungkat hal itu pula? Baik, ayo, naik!"

Sebenarnya walaupun mulutnya mengatakan begitu tapi dalam hatinya Khik-sia ingin lekas-lekas tiba di Tiang-an. Meskipun tak dapat berjumpa dengan Yak-bwe tapi paling tidak ia tentu dapat menyirapi kabarnya. Setitikpun ia tak mengira adanya Tiau-ing mendesaknya supaya boncengan naik kuda itu,maksudnya tak lain hanya supaya dapat menghindari pengejaran Yak-bwe.

Pada waktu keduanya boncengan, Khik-sia segera membaui bau yang harum sehingga semangatnya melayang-layang. Diam-diam ia mengeluh: "Urusan di dunia ini memang sukar diduga-duga. Su Tiau-ing ini tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, pun seorang dari golongan jahat, tapi bergaul begini rapat padaku. Sebaliknya sejak lahir aku dengan Yak-bwe itu sudah dipasangkan menjadi suami isteri, sekarang malah memusuhi aku."

Terlintas pula dalam pikirannya: "Perangaiku kasar sehingga sering menimbulkan kesalahan paham yang menyakiti hatinya. Kalau ia sampai tinggalkan aku itulah sudah selayaknya. Ah, sekarang ia sudah punya pilihan, kelak hubungan kita hanya terbatas seperti orang yang tak kenal-mengenal."

"Ai, kau melamun apa lagi?" tiba-tiba Su Tiau-ing menepuk bahu Khik-sia. "Lekas pegang erat-erat kendali. Kuda ini terlampau pesat larinya, dapat tinggi loncatnya, hampir saja aku dilemparkan!"

Khik-sia tenangkan pikirannya, namun pikirannya tetap mengenangkan Yak-bwe saja: "Meskipun aku dengan Yak-bwe tak dapat menjadi kawan hidup, tapi dalam kalbuku hanya ada dia seorang. Meskipun Tiau-ing itu baik sekali kepadaku, tapi aku tak dapat menerima hatinya."

Kemudian ia teringat akan saat-saat Yak-bwe berteriak. Saat itu ia dalam keadaan hampir pingsan. Masih terngiang dalam telinganya kalau Yak-bwe berteriak kaget dan lari menghampirinya seraya memanggil namanya. "Ya, jika ia sudah melupakan aku, mengapa ia berbuat begitu? Ah, bila Tiau-ing tak menutuk jalan darahku dan cepat-cepat membawa aku lari, aku tentu dapat berbicara dengan Yak-bwe. Tapi hal itupun tak dapat mempersalahkan Tiau-ing. Ia kan tak tahu bagaimana hubunganku dengan Yak-bwe. Tindakan Tiau-ing itu semata-mata karena hendak menyelamatkan jiwaku," pikirnya lebih lanjut.

Ah, sungguh kasihan Khik-sia. Ia sudah menelan mentah-mentah cerita yang dikarang Tiau-ing. Padahal yang nyata, Yak-bwe ketika itu hendak menolong Khik-sia tapi ditabur bwe-hoa-ciam oleh Tiau-ing.

Anak buah Leng-san-pay itu datang dari perbatasan Tibet, oleh karena itu kuda mereka adalah kuda istimewa jenis keturunan Tong-ki. Kuda putih yang dicuri Tiau-ing itu merupakan kuda pilihan yang istimewa. Larinya secepat angin hingga penunggangnya serasa terbang melalui tebaran awan.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang