Jilid 5

900 19 1
                                    

Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya: "Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu menggunakan dengan selayaknya."

Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga kali serangan. Setelah Cin-gi dapat didesak dengan menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima serangannya. Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan goloknya yang di bawah itu untuk membacok si pemuda. Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan kepandaian yang mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya. "Crek," begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar memutar-mutar kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya.

"Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah!" tiba-tiba kedengaran Hong Cin-gi berseru. Kiranya ia dapat mengenal gelagat. Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur.

Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah. Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi. "Trang," goloknya pun segera jatuh karena didorong Yak-bwe.

"No, no ....," demikian sebenarnya ia hendak meratap, "Nona, ampunilah jiwaku". Tapi baru mulutnya berseru "No ....", ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga tembus ke punggung. Teriakan "No" itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati. Setitikpun tidak terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata 'no' itu sebenarnya potongan dari kata 'nona'.

Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.

"Aku mempunyai she dobel 'Tok-ko' dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara yang mulia ini? Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu?" kata pelajar itu.

Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya: "Aku sendiripun tak mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta bendaku."

"Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw? Apakah Su-heng membawa sebuah benda pusaka?" tanya Tok-ko U pula.

Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya: "Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku?"

Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat. Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya: "Aku hanya membawa segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini."

Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah. Tapi karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita. Maka akhirnya ia menemukan akal. Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa. Ia hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu.

Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam orang seperti yang diduga Yak-bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya: "Ha, kalau begitu, kedua penjahat tadi sudah salah mata!"

"Apa?" seru Yak-bwe dengan terkesiap.

"Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah tadi kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut 'Hau-toako' dan 'Hong-toako'? Coba kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim, siapa lagi kalau bukan mereka?" kata pemuda itu.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang