Jilid 30

517 8 1
                                    

Orang yang kesatu berkata pula: "Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat."

Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. "Mereka menyebut-nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan ...."

Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya: "Toako, apa yang kau tertawakan?"

Opsir ketiga itu menyahut: "Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!"

"Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" tanya kedua orang tadi.

"Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal)."

"Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu," kata kedua orang kawannya.

Kata opsir tadi: "Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah."

Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok kedua kawannya tadi. "Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak!"

Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: "Siapa yang hendak kau ambil isteri itu? Wanita itukah?"

Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak: "Khik-sia, tolonglah aku!"

Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.

Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat, dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri.

Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.

Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk menjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik-sia. Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya bukan buatan.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang