#2 : Retak

398K 23K 1.4K
                                    

Di saat hati retak karena cinta dunia yang tak pasti, yang kubutuhkan saat ini adalah sosok Umi. Wanita yang pergi lima tahun yang lalu. Bagiku Umi adalah sosok ibu yang tak pernah ada gantinya, hanya dengan usapan lembut tangannya aku merasa tenang, jiwaku merasa damai. Semenjak kepergiannya, kedamaian itu hilang. Beserta doa mustajab darinya pun, hilang.

Senyuman hangat Umi masih terbayang di pelupuk mata. Bagaimana beliau menenangkan hatiku dengan senyuman itu adalah satu hal yang ajaib menurutku. Umi pernah berkata bahwa apapun yang digariskan oleh Allah adalah ketentuan terbaik-Nya untuk hidup kita. Allah takkan pernah membuat hamba-Nya menderita sia-sia, pasti ada satu hal yang luar biasa di dalam penderitaan tersebut. Seperti halnya pelangi yang didahului oleh hujan. Keindahan akan tampak setelah badai menerpa.

Setelah kepergian Umi, langkah pertama saat jiwaku terguncang adalah mengambil air wudu dan membentangkan sajadah. Bermunajat kepada Pemberi Kedamaian yang Hakiki. Allah lah satu-satunya tempatku mengadu, Dia lah satu-satunya pengharapanku. Ditinggal orang yang kita sayangi memang satu hal yang begitu menyakitkan, namun, jika Allah yang meninggalkan, kita dalam kerugian yang fatal. Seberat apapun ujian yang Allah berikan, aku selalu berbaik sangka terhadap-Nya. Aku tahu Allah telah menyiapkan rencana paling indah untukku di masa depan.

Aku tinggal bersama Abah, Asya, adikku dan Tante Intan, adik Abah. Suami Tante Intan adalah seorang tentara, semenjak suaminya ditugaskan ke luar Jawa, Tante Intan yang biasa aku panggil Tatan itu tinggal bersama kami. Kehadiran Tatan begitu menguntungkanku, pekerjaan rumah jauh lebih ringan lagi. Namun, semenjak Tatan dinyatakan hamil anak pertamanya, aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengurus pekerjaan rumah sekaligus kerja dinasku di Rumah Sakit.

Hari ini cukup melelahkan. Bukan hanya fisikku saja yang lelah namun hatiku juga. Setelah dari pagi hingga siang berkutat dengan seminar yang dihadiri pula oleh makhluk yang tak kuharapkan, hatiku harus terkuras habis karena kecemburuan melihat Makhluk yang tak kuharapkan bersama dengan wanita yang dicintainya.

Kepada hati yang merindukan cinta...

Cukuplah berharap kepada hamba sahaya, seorang hamba takkan bisa mengubah apapun tanpa seizin Sang Illahi. Suara retak di hati janganlah membuatmu menjadi muslimah yang lemah. Jadilah akhwat yang tetap teguh berdiri meskipun angin badai menghantam dari segala sisi. Jika namamu tak tertulis di Lauhul Mahfudz sebagai pelengkap tulang rusuknya, mungkin di luaran sana ada yang diam-diam menyebut namamu dalam doa di sujud terakhirnya.

Setelah bercurah diiringi dengan hujan tangis kepada Allah, sekarang aku bercurah pada buku diary yang selama ini aku isi dengan berbagai kata-kata penyemangatku. Bisa dikatakan bahwa buku Diary ini adalah sisi lain diriku yang selalu memberiku nasehat, semangat, dan beberapa kata penghibur untukku di kala sedih karena dikecewakan dunia.

Brukk!

Satu benda empuk sukses menghantam kepalaku. Aku mendengus sembari mengucap istigfar. Orang yang selalu menujukkan kasih sayangnya dengan perlakuan kejam ini tak lain dan tak bukan adalah Tatan. Si Ratu tega abad ini. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi mahasiswinya, punya dosen galak seperti dia pasti membuatku masuk Rumah Sakit Jiwa.

"Astaghfirullahaladzim, Tatan!" pekikku seraya memutar tubuh untuk menoleh kepadanya.

Tatan berdiri tengah berkacak pinggang dengan perutnya yang membuncit. Matanya tampak melotot ke arahku. Sepertinya dia sedang kesal.

"Dipanggilin dari tadi nggak dijawab! Telingamu terkena Otitis Media Akut, Naira?!"

Jika suaranya sudah menggelegar ditambah dengan gaya khasnya: mata melotot, hidung kembang kempis, dan berkacak pinggang. Aku harus cepat-cepat menghampirinya. Kalau Tatan seperti ini pasti ada kesalahan yang tak sengaja aku buat.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang