"Kallahadiil ar maatakfii mashakhah, lawna 'issab'laa samaakhah," Naira bersenandung Sholawat Deen Assalam sambil mengelap jari-jari Wildan satu per satu.
"Waa'antaqyasna bukhub', lutudhiiqol ardhinaskan kaliqoob."
Terhitung hampir sebulan Wildan masih tak sadarkan diri. Kata dokter yang menanganinya, benturan pada kepalanya yang terlalu keras menyebabkan lambatnya respons kesadaran Wildan. Memang, keadaannya seperti orang koma, tetapi dokter memberi tahu bahwa Wildan saat ini dalam masa pemulihan. Namun, tidak menuntut kemungkinan keadaan bisa jauh lebih buruk apabila ada komplikasi dalam otaknya.
Selesai mengelap wajah Wildan, sejenak Naira memandanginya. Air bening mengambang di pelupuk matanya, Naira begitu merindukan lelaki yang tengah berbaring itu. Rindu ketika melihat Wildan memakai jas dokternya, rindu ketika mereka sarapan bersama, rindu melihat Wildan membaca buku di ruang tengah, rindu semua tentang laki-laki itu.
Dada Naira terasa sesak, ingin sekali memeluk Wildan dan menangis tersedu di pelukannya. Ingin juga mengatakan bahwa kasih sayangnya untuk Wildan tidak pernah ada batasnya, sesakit apapun Naira di samping Wildan, kasih sayang Naira untuk Wildan tak pernah berkurang sedikitpun.
"Ammakhabab wabtisaam, ansyuruu bainil'anam, hadhahuu deen as salaam."
Seluruh bumi ini akan terasa sempit jikalau kita hidup tanpa toleransi. Namun, jika kita hidup dengan perasaan penuh cinta, meski bumi ini sempit kita akan bahagia. Melalui perilaku mulia dan damai, sebarkanlah dengan ucapan yang manis. Hiasilah dunia ini dengan sikap hormat, dengan cinta dan senyuman. Sebarkanlah di antara insan, inilah Islam agama perdamaian.
Begitulah arti senandung sholawat yang dinyayikan lirih oleh Naira, berharap suaminya juga merasakan damai dan tenang. Agar dia cepat membuka matanya melihat dunia lagi yang penuh cinta dan senyuman darinya.
"Assalamulaikum...." Ucapan salam terdengar berbarengan dengan suara pintu terbuka. Aisyah muncul dari balik pintu tersebut.
"Walaikumsalam..." balas Naira seraya memutar kepalanya menghadap sumber suara. Sebelum itu dia lebih dulu menghapus air mata yang sempat menetes di pipinya.
Senyum Aisyah berubah ketika melihat wajah Naira. Sebagai seorang sahabat, Aisyah cukup tersakiti karena keadaan sahabatnya itu. Rasanya Aisyah ingin menangis atau kalau bisa ingin mengatakan kepada Naira untuk segera berpisah dengan laki-laki yang terus menyakiti perasaannya itu.
Setelah sebulan lamanya merawat suami yang tak pernah memberinya cinta itu, keadaan fisik Naira begitu menyedihkan. Lihat saja, pipinya tampak tirus, kantung mata yang lebar, sorotan mata yang lelah, wajahnya pucat dan tak secerah seperti sediakala.
Namun Naira tak pernah mengeluh, dia tak pernah menyesal jika harus merawat Wildan dan tak mempedulikan dirinya lagi. Hatinya selalu menguatkan bahwa ada cinta yang besar untuk Wildan. Hebatnya lagi, senyuman tanpa cela masih tergambar di wajahnya sepanjang waktu. Seperti tidak ada lelah sedikitpun, karena dia tahu, merawat suami adalah tugas wajibnya sebagai istri.
"Udah makan? Ini aku bawakan makanan kesukaanmu," kata Aisyah.
"Udah tadi, makasih, kamu makan aja," tolak halus Naira sambil membereskan selimut Wildan.
"Iih, kamu kan aku bawain buat kamu, ya kamu dong yang harus makan," protes Aisyah sambil mengerucutkan bibirnya.
Naira terkekeh, "Iya iya, taruh di situ aja. Nanti aku makan."
"Nah gitu dong," Aisyah meletakkan kotak berisi makanan kesukaan Naira di meja.
"Ohya, laporan buat acara baksos minggu depan udah siap. Kemarin Devita ke sini minta uang belanja buat anak panti," lapor Naira.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]
SpiritualCinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu...