#28 : Jangan Pernah Ragu

150K 11.8K 338
                                    

Perlahan aku membuka mata, rasa nyeri terasa di bagian kiri tubuhku. Rasanya tidak bisa digerakkan. Setengah sadar aku melihat sekeliling, siluet beberapa orang tampak di pandanganku yang terlihat samar.

"Nduk..."

Aku mendengar suara Abah memanggil. Setelah pandanganku jelas, benar aku melihat Abah bersama Tatan, Tante Fatimah, dan Latifa.

"Kamu sudah sadar, sayang?" tanya Tante Fatimah mendekat dan mengelus kepalaku, "Alhamdulillah...."

Ingatanku tertarik pada kejadian pagi tadi saat aku mengantarkan sarapan untuk Mas Wildan di tengah derasnya hujan, sesuatu menabrakku dan aku terpelanting ke aspal. Astaghfirullah...

Teringat Mas Wildan, mataku bergerak ke sana ke sini mencari sosok itu.

"Kamu mencari suamimu, Nak?" tanya Tante Fatimah, sepertinya beliau mengerti aku tengah mencari Mas Wildan. Aku mengangguk menjawabnya.

"Mas Wildan sedang operasi, Mbak. Mas Wildan mengambil dua shift hari ini biar besok bisa ambil cuti," sahut Latifa.

"Ambil cuti?" tanyaku heran.

"Ya, katanya biar bisa nemani Mbak Nai," jawabnya.

Mendengar itu aku semakin yakin bahwa ada sesuatu dengan Mas Wildan, dari serentetan kejadian aku bersamanya aku menyimpulkan Mas Wildan mulai menerimaku? Aku tidak tahu pasti tetapi rasanya melegakan.

Pernikahan ini sudah berjalan hampir enam bulan, secepat itukah Mas Wildan berubah? Aku takut dia hanya menarik ulur hatiku seperti yang sudah-sudah. Aku tidak berharap lebih, semua aku pasrahkan kepada Illahi Rabb.

Mas Wildan sangat mengagumi Zulfa, tak mungkin hanya dengan enam bulan bersamaku dia melupakan Zulfa begitu saja. Aku jadi semakin ragu dengan kesimpulan yang aku buat. Oh, Allah, tunjukkan jalan-Mu menuju Keridhoan atas Cinta suci ini.

Aku tertidur setelah mendapat suntikan antinyeri dan terbangun sekitar pukul sembilan malam, aku melaksanakan salat Isya di tempat tidur rumah sakit, meski hanya jariku yang bergerak mewakili tangan kiriku yang dibalut bidai. Setelah melaksanakan Salat, aku mengedarkan pandanganku, sepertinya Tatan, Abah, dan yang lainnya sudah pulang. Sebelum aku tertidur tadi, aku sempat melihat ada Athifa, Devita, Puja, dan Aisyah. Entah apa yang mereka bicarakan aku lupa, pengaruh obat sudah merasuki saraf sadarku, setengah sadar aku mendengar ocehan mereka.

Dan sekarang aku sendirian. Seharian ini aku tidak melihat Mas Wildan sama sekali, rasanya aku rindu ingin bertemu dengannya, karena dengan melihat wajahnya saja aku merasa tenang, damai, dan merasa baik-baik saja. Sebentar lagi dia akan selesai Shift, aku memutuskan untuk menunggunya.

Niatku untuk menunggu Mas Wildan malah terurungkan karena rasa kantuk lagi-lagi menyerangku, entah obat apa yang Dokter berikan, efeknya membuat mataku berat. Maaf Mas, aku tidak bisa menunggumu.

Samar-samar aku mendengar bacaan surah Ar-Rahman, masih enggan membuka mata, aku menikmati suara itu dalam diam. Setiap intonasi bacaanya begitu menenangkan, aku tahu suara siapakah ini, dia adalah suamiku. Oh, Allah, aku merasa sangat cukup bahagia saat ini. Setelah apa yang terjadi padaku, Engkau membalasnya dengan setimpal atas kesabaranku selama ini, Kau membalasnya dengan kebahagiaan ini. Terima kasih, Ya Rabb.

Fabiai-yi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan; Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?

Ayat itu mengingatkanku lagi beberapa tahun yang lalu, saat Mas Wildan selalu menceramahiku tentang apa yang telah Allah berikan tentang hidup. Setiap napas yang kita hembuskan seperkian detik diberikan gratis oleh Allah, bagaimana jika setiap oksigen yang kita hirup dibandrol harga, kita takkan sempat membeli ini dan itu, uang kita akan habis untuk membeli oksigen. Dan, nikmat Tuhan manakah yang bisa didustakan? Tidak ada. Semua nyata dan diberikan kepada kita ummat-Nya karena atas dasar kasih sayang dari-Nya.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang