"Katakanlah, wahai para HambaKu yang telah menzalimi dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
(Az-Zumar : 53)°°°
"Dear Allah, seperti dahan kering, hatiku mudah patah karena sebuah rasa yang tak terbalas."
***
"Cukup aku saja yang tidak setuju dengan pernikahan ini!"
Kata-kata itu berdengung di kepalaku sepanjang perjalanan pulang, membentuk sebuah lingkar tanpa ujung berputar di atas kepalaku. Kamu tahu perasaanku sekarang, pasti sakit bukan?
"Kenapa?"
Suara bariton khas Wildan menegur lamunanku. Sepertinya dia melihat raut wajahku yang penat.
"Tidak apa-apa," jawabku sambil berusah mengubah mimik wajahku.
"Perkataan Athifa tadi... jangan diambil hati..." katanya.
"Iya, aku baik-baik aja kok."
Lalu bagaimana dengan perkataanmu, Wildan? Ingin rasanya bertanya seperti itu, tetapi semua kata-kata itu hanya tercekat di tenggorokan dan selamanya mungkin takkan bisa diutarakan.
"Di rumah akan ada tasyakuran, keluarga besar akan hadir," ucapnya sambil fokus menyetir.
"Mmm.. Iya."
Hanya itu percakapan kami sampai tiba di rumah Wildan. Aku melihat banyak mobil berjejer di pelataran rumah, sepertinya keluarga sudah berkumpul. Aku turun setelah roda mobil Wildan berhenti, sebelum aku membuka pintu, Wildan menahanku.
"Bersikaplah biasa saja, kalaupun kamu nggak suka bilang kalo kamu nggak enak badan dan kamu bisa pergi ke kamar," ucapnya.
Aku tersenyum, "Nggak perlu, Wil, aku tahu bagaimana aku harus bersikap," balasku.
"Mas," ucapnya lagi dan berhasil menghentikan dorongan tanganku di pintu mobil, "jangan lupa memanggilku 'Mas' di depan mereka."
Aku mengangguk, lalu melanjutkan dorongan pintu mobil dan segera beranjak dari tempat itu berjalan menuju pintu utama rumah Wildan.
"Assalamualaikum," salamku.
"Walaikumsalam..." serentak semua yang berada di ruang tamu menjawab salamku.
"Menantuku sayang, masuk, Nak," sambut Tante Fatimah sambil berjalan mendekatiku dan merangkulku.
Dan, apa yang kulihat?
Dari sekian keluarga yang ada, hanya Tante Fatimah dan Latifa yang memperhatikan kedatanganku. Bukannya suudzon, tetapi sepertinya mereka kurang begitu menyukai kehadiranku. Aku tetap tersenyum dan mencoba menepis buruk sangka. Aku pun segera membalas sambutan Tante Fatimah.
"Ini loh menantuku, namanya Naira, dia perawat di Rumah Sakit yang sama dengan Wildan," kata Tante Fatimah memperkenalkanku kurang lebih kepada dua puluh orang yang berada di situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]
SpiritualCinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu...