"Jangan khawatir, Ners Nai. Keadaannya sekarang sudah stabil, tadi hanya mengalami bradikardi."
Penjelasan dokter itu membuatku kesal. Penurunan tekanan nadi, jika terlambat ditangani memang bisa berakibat fatal, tetapi masalah itu bisa ditangani di ruangan, kenapa heboh sekali membawa Mas Wildan ke Ruang ICU?
"Dokter, lain kali kalau cuma masalah yang dapat ditangani di ruangan, tidak perlu repot membawa Dokter Wildan ke Ruang ICU. Saya tidak mau ada omongan bahwa Dokter Wildan diperlakukan istimewa di Rumah Sakit ini hanya karena dia dokter di sini," tegurku.
Dokter itu tersenyum, "Bukannya bagus? Berarti Dokter Wildan di mata karyawan di sini sangat disegani dan dihormati."
"Dokter Wildan hanya pasien biasa sama seperti pasien lainnya, Dok. Jadi perlakukan dia seperti pasien lainnya."
"Ba–baiklah, Ners Nai. Tidak perlu sampai membuat pernyataan tegas seperti itu. Saya akan memberi tahu tim saya untuk memperlakukan Dokter Wildan seperti yang Anda mau," kata dokter itu seraya berjalan melewati pintu dan keluar dari Ruang ICU bed empat dimana Mas Wildan ditempatkan.
Aku menghembuskan napas panjang, lalu berjalan menuju Latifa yang duduk di samping kakaknya yang terbaring di brankar. Sisa-sisa air mata masih terlihat di sekitar mata sembabnya, juga tangan gemetar yang terus menggenggam tangan Wildan.
Perlahan aku menyentuh pundaknya dan duduk disamping Latifa sambil merangkulnya.
"Masmu nggak apa-apa, Fa. Kamu yang tenang..." ucapku seraya mengelus pundaknya lembut.
"Kapan sih Mas Wildan sadar? Kenapa lama banget? Latifa kangen..." ucapnya lirih menahan air mata yang ingin tumpah untuk ke sekian kalinya.
Aku juga merindukannya. Sangat.
Meski hampir tidak pernah ada lemparan senyumannya untukku, tetapi aku tetap merindukan senyum itu.
Meski hampir tidak pernah ada pembicaraan di antara kami, tetapi aku tetap merindukan suaranya.
Dear Allah, untuknya kekasih halalku yang tak pernah melihat cinta di mataku. Kuucapkan salam pada rindu yang paling dalam dari hati yang paling dasar untuknya, dia yang Kau ciptakan hadir di hidupku.
"Kita berdoa bareng-bareng ya? Semoga Allah lekas menyembuhkan Mas Wildan," ucapku yang sama beratnya menahan tumpahan air mata.
"Aamiin, Ya Allah.." ucap lirih Latifa seraya mengecup punggung tangan Mas Wildan dengan lembut.
***
Hunusan mata Aisyah tergambar jelas menembus pandangan Athifa. Tak ingin kalah, Athifa menajamkan matanya pula ke arah Aisyah yang berdiri lima meter dari tempatnya. Keduanya berada dalam situasi sengit yang mencekam di lorong Rumah Sakit menuju parkiran khusus karyawan.
Sebelum berada pada situasi tersebut, keduanya sempat bertemu di kantin sesaat setelah Naira berlari keluar kantin karena kabar Wildan masuk Ruang ICU. Perlakuan Athifa kepada Naira membuat Aisyah jengkel. Aisyah mengajak Athifa bertemu di tempat ini.
"Selama ini aku diam aja atas perlakuanmu sama Naira, Fa. Tetapi untuk kali ini aku nggak bisa diam aja," ucap Aisyah tegas.
Sifat kekanak-kanakannya tiba-tiba hilang berganti dengan ketegasan di wajah Aisyah.
Athifa melempar senyum sinis, "Emangnya kamu tahu betapa busuknya sahabatmu itu?"
"Cinta adalah karunia Allah. Naira mencintai Wildan atas dasar takdir yang sudah digariskan Allah. Kamu yang tak terlibat di karunia itu kenapa sebegitu kasarnya perlakuanmu sama Naira?"
"Nggak terlibat?" ucap Athifa mengulang kata-kata itu dengan penekanan intonasi di setiap katanya.
"Aku mencintai Genta, Genta mencintai Naira, dan Naira mencintai Wildan. Apa itu adil buatku sama Genta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]
SpiritualCinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu...