"Ini kartu ATMku, mulai sekarang kamu yang pegang."
Aku yang semula duduk di kursi teras belakang terperangah saat Mas Wildan tiba-tiba datang dan menyodorkan beberapa kartu ATMnya padaku.
"Harus ya aku yang pegang?"
"Itu, kan, hakmu," balasnya sambil duduk dan menaruh ATM itu di meja lalu membuka laptopnya.
Aku memungut kartu ATM itu dan memasukkan ke dalam saku baju. Aku masih heran dengan sikapnya, dua minggu sejak keluar dari Rumah Sakit sikapnya selalu berubah-ubah. Hatiku seperti layangan, ditarik ulur tidak jelas. Saat ini dia bersikap begini, sebelumnya dia sangat menyebalkan. Aku membuatkan teh tetapi dia meminum jus, aku menyiapkan baju warna biru tetapi dia memakai baju yang lain. Aku membangunkan salat subuh, dia bilang tidak perlu tetapi saat aku tidak membangunkannya dan telat salat subuh, aku yang ditegur. Aku hanya bisa mengelus dada karena sikapnya.
Memang dia sudah tidak pernah menyinggung perceraian atau apapun yang bisa menimbulkan konflik tetapi sikapnya masih cuek dan berbuat suka hatinya.
"Minum, Mas?" tawarku mencairkan suasana yang canggung.
"Nggak," balasnya tanpa menoleh, dia fokus menatap layar laptopnya.
Subhanallah, aku harus ekstra sabar menghadapinya.
Detik selanjutnya aku menuangkan jus jeruk yang sengaja aku buat sebelumnya dan ingin menikmatinya sambil santai di teras belakang rumah.
"Kamu mau ganti motor atau beli mobil baru?"
Pertanyaan yang nggak pernah aku duga baru saja terlontar dari mulutnya dan sukses membuatku tersedak.
"Ck. Kalau mau minum baca bismillah dulu biar nggak kesedak. Batuk kan jadinya," katanya sambil menepuk pelan punggungku, "minum lagi gih, tapi pelan-pelan," titahnya dan aku menurut.
Entah kenapa aku menjadi tersipu saat mendapat perhatian darinya. Perlahan tetapi pasti dia mulai kembali seperti Mas Wildan yang dulu. Meski nyebelin tetapi masih ada sisi kepeduliannya. Dan karena itu, setiap dia memberikan perhatian aku seperti terbang dengan anganku tetapi lagi-lagi aku dihempaskan ke dasar realita saat dia berlaku cuek dan dingin.
"Gimana?"
"Nggak usah deh motorku masih bagus kok," tolakku.
"Ya udah, terserah," jawabnya datar.
Setelah itu hening. Tidak ada percakapan lagi di antara kami. Dan situasi ini terus berulang-ulang setiap harinya, canggung dan sepi.
Setelah keluar dari Rumah Sakit kami memang sepakat untuk melupakan masalah-masalah yang sebelumnya terjadi. Ya meski tidak semua bisa terlupakan, aku masih merasa bersalah. Kami juga bersepakat jangan pernah menyinggung masa lalu yang bisa menimbulkan masalah di antara kami. Karena Mas Wildan sangat menjaga perasaan Ibu dan adiknya. Dan aku memahami itu.
Aku juga tidak tahu bagaimana pernikahan ini akan kami lewati, padahal kami juga sepakat untuk tidak boleh saling menyatakan perasaan, apapun yang terjadi. Yang kami sepakati adalah kami menjalankan tugas masing-masing, aku menjadi makmumnya dan dia menjadi imamku. Lucu memang, padahal sampai sekarang sajadahku dan sajadahnya tak pernah bersanding.
Di situasi seperti ini, aku mencoba mencuri pandang wajahnya. Menatapnya lebih dekat dari biasanya. Saat ini dia memakai baju kaos hitam bercorak putih, sambil bertopang dagu dia fokus menatap layar laptopnya.
Aku menarik bibirku untuk tersenyum. Dia masih terlihat tampan dan bersinar, raut wajahnya selalu menyejukkan hatiku dan aku bersyukur karena dia telah menjadi suamiku meski belum seutuhnya. Aku langsung mengalihkan pandangan saat dia juga melirikku. Debaran jantungku terasa sekali saat aku lagi-lagi ketahuan diam-diam memandanginya. Dan situasi ini sangat aku benci karena aku malu, malu banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]
SpiritualCinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu...