#24 : Gravitasi Takdir

307K 21.1K 497
                                    

"Genta nggak ikut, ya?" tanyaku saat aku dan beberapa anggota komunitas AK sampai di lokasi bakti sosial. Rencananya hari ini kami akan membagikan beberapa buku dan makanan serta pemeriksaan gratis untuk anak-anak jalanan, khususnya anak-anak pinggiran sungai yang kesehatannya rentan. Tetapi hari ini aku tidak melihat Genta, padahal dia ketua pelaksana.

Aisyah dan Devita yang kutanyai itu hanya menggedikkan bahu, tidak tahu. 

"Ngapain nyari Genta?"

Pertanyaan itu terlontar dari bibir Athifa, aku langsung tersadar. Astaghfirullahaladzim!

"Biasa aja kali Nai, mukanya," katanya, mungkin dia melihat ekspresiku yang sedikit terkejut-terkejut takut, "aku juga heran kenapa dia tidak datang ya?"

Athifa juga penasaran kenapa pria itu tidak datang.

"Terus gimana nih Bu Ketua?" timpal Devita ke arah Aisyah selaku ketua Komunitas.

"Ya udah lanjut aja, ayo! Kasihan adek-adek sudah menunggu," kata Aisyah memberi keputusan.

Akhirnya kami melanjutkan acara tanpa ketua pelaksana. Anggota yang datang tidak banyak karena sebagian dari mereka terbentur dengan jadwal dinas. Ada sekitar 20 orang yang hadir hari ini. Aku kebagian tugas memeriksa anak-anak. Kami membagi lima jalur karena anak jalanan dan anak bantaran sungai lumayan banyak yang datang, mereka juga diantar saudaranya yang sekalian ikut periksa gratis.

Sungguh prihatin melihat mereka. Kulit mereka terlihat gosong karena terik matahari, rambut dan wajah mereka tampak kucel karena mungkin jarang mandi. Meskipun mereka mandi, mereka hanya bisa mandi di sungai yang keruh dan airnya berwarna cokelat. Banyak dari mereka yang menderita gatal-gatal, diare, dan masalah kulit lainnya.

"Kalau mandi berapa kali sehari, Sayang?" tanyaku di sela-sela memeriksa kulitnya yang terkena scabies sejenis penyakit kudis.

Anak kecil berumur sekitar sepuluh tahun itu menggeleng.

"Tidak pernah mandi?" tanyaku.

Anak itu menggeleng lagi. Oh, Allah, sangat memprihatinkannya mereka. Sudah tidak mengenal istilah pendidikan, kehidupan sehari-hari mereka pun jauh dari kata layak. Sangat jauh sekali dari kata hidup sehat.

Kebanyakan dari mereka memang anak pemulung, rumahnya pun berada di sela-sela kepadatan kampung dan di bantaran sungai yang kotor dan tercemar. Melihat mereka rasanya malu, masa kecilku penuh dengan rasa tidak bersyukur. Aku selalu merengek ke Umi dan Abah agar dituruti ini itu segala keinginanku, padahal saat itu aku sudah hidup dengan cukup layak di lingkungan yang sehat pula. 

Rasanya ingin menangis melihat mereka anak-anak bantaran sungai ini. Hebatnya lagi anak-anak itu tidak pernah menampakkan wajah sedih mereka, pasti ada senyuman yang tercetak di bibir-bibir mungil mereka.

Hari ini aku mendapat pelajaran bahwa kita hidup itu tidak mulu melihat ke atas untuk melihat kehidupan orang lain yang lebih beruntung dari kita, tapi sesekali harus menundukkan kepala untuk melihat mereka yang tidak seberuntung kita. Rasa syukur itu penting.

Menjelang waktu duhur acara selesai. Anak-anak di sini begitu antusias dan sukses membuatku bahagia melihat tawa riang mereka. Kami anggota komunitas AK salat berjamaah di Masjid dekat lokasi, setelahnya itu kami mengadakan evaluasi di teras Masjid. Dari evaluasi ini kami mendapat kesepakatan tentang rencana tindak lanjut dari observasi masalah yang ada. Pembuatan kamar mandi umum menjadi kesepakatan rencana tindak lanjut kami untuk anak-anak bantaran sungai.

Semoga berjalan lancar dan mendapat keridhoan dari Allah subhannahu wa ta'ala. Aamiin.

***

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang