Derap langkah kakiku berhenti di depan pintu ruang rawat inap Mas Wildan. Tanpa berpikir lama, aku segera membuka knop pintu untuk melihatnya kembali membuka mata. Dua manik mata Mas Wildan, suamiku, akhirnya terbuka setelah sekian lama bermimpi dalam tidur panjangnya. Sejuta syukur takkan bisa mewakili perasaan terima kasihku kepada Allah. Kesedihan, kekhawatiran, ketakutan yang selama ini menyelimutiku seketika hilang dan pudar. Aku benar-benar merasa bahagia hanya karena melihat mata Mas Wildan kembali terbuka.
"Mas..."
Dua mata itu menatapku. Aku berjalan mendekat padanya dan ingin sekali memeluknya mengatakan bagaimana perasaan bahagiaku saat ini. Namun langkahku terhenti ketika dua mata itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku segera tersadar, Mas Wildan masih membenciku karena buku diary waktu itu. Perlahan tetapi pasti, rasa bahagia ini berganti rasa kecewa dan sedih, aku bukanlah orang yang dia harapkan ada saat pertama kali dia bangun dari komanya.
Dia tengah sendiri, aku tak melihat ada Latifa di sampingnya. Mungkin saat ini yang tepat untuk mengucapkan permintaan maafku atas kejadian waktu itu, atas perasaan cintaku padanya yang membuat dia membenciku.
Aku menguatkan hati, menyiapkan mental apapun yang dikatakannya aku harus terima. Bagaimanapun akhirnya, aku telah berusaha selama ini untuk selalu setia di sampingnya, menemaninya hingga bisa membuka matanya lagi. Hanya satu doaku, semoga ada keajaiban yang bisa membuat hatinya luluh dan menerimaku seutuhnya.
Aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum dan mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Aku pasti bisa melewatinya, aku yakin Allah pasti menolongku.
"Mas, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Dia menatap ke arah berlawanan, sepertinya dia enggan menjawab pertanyaanku.
"Aku sangat lega, akhirnya kamu sadar dari tidurmu yang lama banget," ucapku lagi dengan nada setenang mungkin, meski degub jantungku tak bisa dikatakan normal lagi. Aku tak mau berhenti berusaha, entah bagaimana hasilnya, kuserahkan semua kepada Allah. "Mas mau minum?" aku berjalan ke arah nakas mengambil termos.
"Ngapain kamu di sini?" suara bariton itu akhirnya kudengar, suara yang selama ini aku rindukan.
Aku mengurungkan niatku mengambil termos dan berjalan mendekati tempat tidurnya lalu duduk di kursi sampingnya.
"Karena aku masih sah menjadi istrimu, Mas. Kewajibanku melayanimu, jadi biarlah aku menjadi istri yang mencari Syurga darimu," balasku dengan senyuman.
"Apa kamu sudah mengurus surat cerai kita?"
Oh, Allah, kata 'cerai' kembali aku dengar, rasanya aku ingin menjerit dan mengatakan bahwa aku tak ingin bercerai dengannya, aku sangat mencintainya. Tetapi, lagi-lagi lidahku kelu. Semua hanya tercekat di tenggorokan dan selamanya takkan bisa aku utarakan.
"Mas, soal waktu itu... aku minta maaf, karena aku kamu mengalami kecelakaan, aku sangat menyesal. Aku harap kamu mau memaafkanku." Bendungan air mata sudah siap tumpah dan membanjiri pipiku.
Aku meraih tangannya, ingin sekali tangan itu kukecup sebagai permintaan maafku yang paling tulus. Namun yang kudapat hanya tepisan kasar yang membuat air mataku kemudian mengalir tak tertahankan.
Sebegitu dosakah aku? Sebegitukah menjijikkannya aku di matamu?
Kadangkala aku memakimu dalam hati, kenapa bukan kamu yang mencintaiku tulus dan apa adanya, kenapa harus aku yang selalu mengharapkanmu meski takkan pernah ada cela di hatimu untukku.
"Aku.. memang mencintaimu, aku menerima Genta karena aku ingin melupakanmu, tetapi takdir membawaku ke pelaminan bersamamu. Aku bersyukur, juga menyesal. Karena aku menjadi orang yang membuatmu menderita karena pernikahan ini, aku juga melukai Genta dan–"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]
SpiritualCinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu...