#26 : Bisikan Rasa Khawatir

299K 17.6K 953
                                    

Suara derap langkah kaki Wildan memenuhi koridor Rumah Sakit, sebelumnya dia diberi tahu oleh seorang helper rumah sakit jika Naira terlibat perdebatan dengan keluarga pasien yang merupakan istri dari Haris Multiyo. Wildan tahu siapa Haris Multiyo, pria itu tampak tergesa-gesa menuju bangsal Melati. Air mukanya tampak tegang dan serius.

Sesampainya di bangsal Melati, ujung matanya menangkap sosok Genta keluar dari bangsal dengan langkah gusar dan mukanya terlihat sama tegangnya. Wildan memiliki firasat buruk tentang hal ini. Perasaannya sudah tidak enak mendengar nama Haris Multiyo. Pengacara itu tidak main-main dalam menangani kasus. Siapa pun yang berhadapan dengannya tidak akan mendapat predikat kemenangan, semua pasti berakhir dengan kekalahan.

Langkah kaki Wildan langsung masuk ke dalam bangsal Melati, pandangannya menyapu ruangan dengan lorong panjang ramai dengan pasien yang berhambur keluar karena kejadian tadi. Lalu Wildan berjalan menuju nurse station, namun ujung matanya tida menangkap sosok yang dia cari.

"Dokter Wildan mencari Ners Naira?" celetuk seseorang berseragam yang sama dengan Naira.

"Ya. Anda tahu di mana dia sekarang?" tanyanya langsung.

"Ners Naira dipanggil ke ruangan Direktur, sama perawat Riska."

Tanpa menunggu lama, Wildan langsung memutar tubuhnya untuk berlari ke ruangan Direktur yang berada di gedung sebelah. Dalam hatinya memaki Naira karena harus terlibat perdebatan dengan keluarga pasien yang tidak biasa. Namun Wildan juga menyalahkan dirinya telah meninggalkan Naira di depan bangsal Melati, seharusnya tadi Wildan tetap menggenggam erat tangan Naira agar tidak tertinggal.

Di depan ruangan Direktur, Wildan melihat ada beberapa perawat bangsal Melati dan juga Aisyah tengah mondar-mandir menunggu Naira dan Riska keluar dari ruangan itu. Air muka mereka tampak gelisah sekaligus khawatir, beberapa kali Aisyah berusaha menguping pembicaraan dengan menempelkan satu telingannya di badan pintu. Saat Aisyah melihat kedatangan Wildan, wanita itu langsung menghampiri Wildan.

"Wil, gimana ini... Naira dalam masalah," kata Aisyah dengan wajah yang jelas mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Wildan diam sesaat, kakinya berjalan sedikit lebih dekat dengan pintu ruang Direktur.

"Tadi gimana ceritanya?"

"Riska dituduh Malpraktik karena salah memasukkan obat antibiotik ke anaknya Haris Multiyo, terus Naira berusaha membela karena menurut penuturan Riska, Riska juga sempat dilecehkan sama anaknya Haris Multiyo itu. Sekarang mereka seda ng berunding di dalam sama Direktur, juga istrinya Haris Multiyo yang marah-marah tadi," tutur Aisyah.

Mata Aisyah terlihat berkaca-kaca ingin menangis. Dia sangat mengkhawatirkan Naira, sedangkan pria di sampingnya hanya diam, tanpa ekspresi apa-apa. Pria itu malah bersandar di dinding dengan dua tangannya masuk ke dalam saku celana. Raut mukanya datar dengan sesekali menghembuskan napas panjang. berbeda dengan Aisyah yang tampak gelisah ke sana ke mari seperti setrika panas.

Setengah jam berlalu tetapi belum ada tanda-tanda Naira dan Riska akan keluar. Aisyah dan Wildan masih menunggu mereka di depan pintu ruang Direktur. Mereka tidak berdua saja, ada beberapa teman Riska yang juga menunggu.

"Pokoknya saya bawa ini pengadilan!" suara wanita itu dengan nada keras terdengar dari dalam ruangan yang sontak membuat mereka yang berada di luar ruangan terkejut.

Aisyah sampai menangis karena saking terkejutnya, sedangkan Wildan masih dengan muka datarnya bersandar di dinding dengan sikap yang sama seperti tadi, menenggelamkan tangan di dua saku celananya.

"Wil, lakukan sesuatu!" pinta Aisyah.

Wildan hanya diam saja. Entah apa yang tengah ada di pikiran pria satu itu, istrinya dalam masalah dia malah bersikap biasa saja.

"Wil...."

"Berdoalah," lontar Wildan membuat Aisyah menatap sinis ke arahnya.

Pintu dibuka secara gusar tidak lama dari itu, keluar seorang ibu berambut keriting mekar dengan raut muka kesal. Ibu itu juga bersama dengan putranya yang duduk di kursi roda dengan muka bentol-bentol. Ibu itu mendorong kursi roda dengan langkah gusar meninggalkan ruangan. Lalu di belakangnya Riska keluar dengan mata sembabnya yang kemudian disambut peluk oleh teman-temannya.

Sepertinya Riska tampak lega.

Detik berikutnya sosok yang sedari tadi Wildan dan Aisyah tunggu keluar dengan ekspresi wajah tenang dan sedikit terkejut karena menyadari kehadiran Wildan. Aisyah langsung menghambur ke arahnya, wanita itu menangis menunjukkan kekhawatirannya kepada Naira.

"Nggak apa-apa, Syah. Semua sudah clear," ujar Naira yang langsung membuat tangis Aisyah berhenti.

"Clear?"

Naira mengangguk, "Anaknya tadi mengakui kalau sebab alerginya itu bukan dari obat tapi setelah disuntik dia makan udang yang dibawakan temannya, dia alergi sama seafood," terang Naira yang akhirnya membuat Aisyah bernapas lega.

"Tapi tadi aku denger ibu itu tetap maju ke pengadilan. Maksudnya gimana Nai?"

"Ibunya tidak terima dan tetap ngotot akan membawa ke pengadilan. Ibu itu juga menuduh Riska berlaku kurang ajar karena mendorong anaknya sampai membentur dinding. Tapi alhamdulillah, Direktur mendukung Riska untuk melakukan perlawanan."

"Alhamdulillah, semoga Riska bisa menang," ucap Aisyah sedikit lega mendengar kabar itu.

"Nai, ikut aku!"

Suara itu terdengar bersamaan dengan satu tangan menarik tangan Naira. Wildan menarik Naira untuk pergi dari tempat itu. Naira sempat terkejut karena tarikan tangan Wildan sedikit agak kasar.

Entah mau dibawa ke mana, sepanjang perjalanan mereka saling diam. Naira hanya terpaku pada tangan Wildan yang mencengkeram pergelangan tangannya, Naira juga tidak berniat memulai pembicaraan karena Naira tahu Wildan tengah marah kepadanya. Naira hanya mengikuti langkah Wildan yang berjalan dengan ekspresi dingin dan datar.

Ternyata Wildan membawa Naira ke arah parkiran, tepatnya ke mobilnya. Sebelum membuka pintu mobil, Wildan melepas tangan Naira.

"Kamu ini apa-apan sih?" tanya pria itu dengan nada menyiratkan kekesalan.

"Aku cuma... membela Riska, Mas."

"Dia anak Haris Multiyo, Naira! Apa kamu tidak tahu dia siapa?"

Naira mengangguk, "Aku tahu. Aku hanya membela apa yang benar, Mas, tidak peduli siapa yang salah."

Pandangan Wildan menyerobok mata Naira, Naira sedikit merasa takut karena kilatan mata Wildan yang menunjukkan kemarahan. Mata Wildan seolah pedang yang menghunus jantungnya, Naira merasakan sesuatu dalam dadanya berdetak abnormal. Naira berusaha menghindari pandangan itu karena tidak kuat dengan tatapan tajam Wildan.

Tanpa disangka, tiba-tiba Wildan menarik tubuh Naira untuk menghambur ke tubuhnya. Pria itu melesakkan wajah Naira tepat di dada bidangnya. Naira membulatkan mata karena terkejut, telinganya bisa mendengar jelas detak jantung Wildan yang ternyata terdengar sama dengan detak jantungnya, yakni berdetak abnormal. Detak jantung itu terdengar keras dan cepat.

Kemudian Wildan mendekatkan bibirnya ke telinga Naira, "Jangan buat aku khawatir, karena mengkhawatirkanmu rasanya tersiksa," bisiknya.

Ruang, waktu, dan alam seolah berkonspirasi menggiring semua keberuntungan menghampiri Naira. Tidak bisa disembunyikan lagi, seulas senyum tercetak bersama tangis bahagia di wajah Naira. Mungkinkah Wildan telah membuka hati untuknya? Yang jelas, saat bulir bening yang keluar dari mata Naira itu mengalir di dua pipinya, Wildan dengan lembut mengusapnya dengan sunggingan senyum yang membuat siapa pun pasti akan cinta dan jatuh sedalam-dalamnya pada rasa cinta itu.

***

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang