#14 : Terungkap

274K 19.3K 471
                                    

Pernah mendengar kisah cinta diam-diam Ali dan Fatimah, sebuah kisah yang sangat luar biasa, kan? Ketika saat pertama aku mengenal Wildan di pesantren kilat, aku mengaguminya dan berharap kisahku sama dengan kisah cinta Ali dan Fatimah. Nyatanya tidak. Kisah cintaku klise tetapi terlalu rumit dipahami.

Genta mencintaiku, aku mencintai Mas Wildan, dan Mas Wildan mencintai Zulfa. Tetapi, faktanya aku dan Mas Wildan yang menikah. Masalah pun datang bertubi-tubi menghantam keteguhan cintaku, mencoba merobohkan niatku untuk menyempurnakan agamaku, dan sedikit demi sedikit membuat lubang yang menyakitkan pada hati.

Seharusnya dulu aku cukup mengaguminya tanpa harus meletakkan rasa apapun.Karena mencintainya membuatku sering salah melangkah, membuatku berada padaposisi dan situasi yang krusial, ada tanggung jawab dua keluarga yang kupegangerat kehormatannya.

Hari ini aku shift sore, kebetulan Mas Wildan shift pagi, jadinya aku hanya ditemani Mbok Sunem dan Mbak Jilla saja. Tetapi sekitar jam sembilan pagi, Latifa datang ke rumah. Dia membawa beberapa titipan Tante Fatimah berupa buah-buahan, sayur, dan beberapa biskuit.

"Mbak Nai, aku mau curhat," katanya sambil memasukkan buah apel ke dalam kulkas.

"Curhat apa?" balasku sambil menata biskuit ke dalam kotakkotak kue.

"Aku punya temen, Mbak. Anggaplah namanya Bunga," sambil memulai curhatannya, dia memasukkan sayur sawi ke dalam kulkas.

Kemudian Latifa menutup pintu kulkas.

"Aku mengenalnya sudah lama, dia itu hidupnya selalu enak. Bukannya iri sih tapi aneh aja."

Aku membuka kotak lainnya, "Aneh? Apa maksudnya aneh?" tanyaku lalu menaruh biskuit lainnya ke dalam kotak tersebut.

"Dia jarang banget salat, dia juga nggak pernah pakai kerudung, baca Alquran aja nggak bisa. Tetapi hidupnya selalu beruntung. Dia cantik, kaya, disukai banyak siswa cowok dan menjadi idola di sekolah," ucapnya sambil duduk di kursi meja makan.

"Trus masalahmu apa Fa kalau dia begitu?" tanyaku menutup kotak itu dan menyimpannya di laci dapur, lalu duduk di samping kursi Latifa.

"Aku juga punya teman, dia sangaaat rajin banget salat, dia hapal Alquran, dia pintar mengaji, bajunya syar'i banget, Mbak, pokoknya dia itu wanita shalihah deh," lanjut Latifa menceritakan teman yang satunya itu dengan menggebu-gebu.

"Lantas?"

"Tetapi hidupnya kayak kurang beruntung gitu, keluarganya miskin, sering telat bayar iuran di kelas, dikatain kuper, wajahnya juga nggak terlalu cantik, bapaknya juga sakit-sakitan. Kok bisa ya, Mbak? Allah memperlakukan temenku satu ini seperti itu padahal dia taat banget, sedangkan buat Bunga nggak pernah salat hidupnya dikasih enak." Aku tersenyum. Aku paham apa yang dia maksud.

"Itu namanya Istidraj," jawabku.

Mata Latifa langsung membulat, mengekspresikan keingintahuannya. "Apa itu, Mbak?"

"Istidraj itu sama dengan jebakan berupa nikmat yang diberikan Allah, nikmat yang akan menjerumuskannya pada adzab yang pedih di hari pembalasan," jelasku.

"Rasullullah Shallallahualaiwasalam bersabda: Bila kamu melihat Allah memberi kepada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah. Hadist Riwayat Ahmad," lanjutku. "Ooh, begitu," kini Latifa membulatkan mulutnya, detik kemudian matanya berbinar lagi, "kok bisa Si Bunga itu terkena Istidraj, Mbak?" tanyanya antusias.

"Kalau itu hanya Allah yang tahu. Mungkin si Bunga ini pernah menyombongkan kenikmatan yang diberikan oleh Allah," jawabku seadanya.

"Maksudnya, Mbak?" tanyanya lagi.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang