#12 : Cinta Genta

262K 21.1K 1.5K
                                    

Buku dengan judul Keperawatan Neonatus di rak perpustakaan Rumah Sakit ini kupunguti satu per satu. Bu Sintia menyuruhku mengambil buku ini untuk persiapan perawat Perinatologi menghadiri Workshop minggu depan. Sebenarnya tadi dibantu adek mahasiswa tetapi mereka aku suruh balik dulu, takut di ruangan lagi butuh bantuan. Alhasil, aku harus membawa sepuluh buku ini sendirian. Setelah buku yang diminta lengkap, aku segera keluar dari perpustakaan untuk kembali ke ruangan.

Pelatihan tenaga medis lagi gencar-gencarnya digalakkan pihak Rumah Sakit, apalagi rumah sakit daerah. Sebentar lagi akan ada penilaian akreditasi Rumah Sakit. Setiap ruangan mewajibkan petugasnya untuk mengikuti Workshop termasuk ruangan Perinatologi.

"Nai, perlu bantuan?"

Aku sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang di sampingku. Saat aku menoleh, lebih terkejut lagi ketika tahu seseorang itu adalah Genta.

"Nggak usah, makasih," tolakku karena tidak mau merepotkannya.

Genta mengangguk, "Ya udah, duluan ya?" katanya.

"I-iya, Ta," jawabku.

Sembari menatap punggungnya, aku bertanya dalam hati, kenapa sih dengan orang ini? Tempo hari acuh bahkan tidak menyapaku, sekarang malah menawarkan bantuan. Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Sikapnya yang teramat baik ini menambah rasa bersalah dan rasa lega di hatiku. Bersalahnya, aku telah menyakiti pria baik seperti dia dan leganya, dia bisa kembali tersenyum meski aku pernah menyakitinya.

Aku tenggelam dalam lamunanku tentangnya, masih ada ya pria sebaik dia? Meski sudah disakiti tetapi tetap baik sama orang yang menyakitinya. Mashaallah...

"Viola! Jangan lari-lari!"

Terdengar suara seorang ibu meneriaki anaknya, sejenak aku menoleh ke arah belakang. Dan, tiba-tiba...

Bruukkk!

Anak kecil yang lari itu menabrakku dan menjatuhkan semua buku yang kubawa. Setelah berdiri, anak itu kembali lari dari kejaran ibunya.

"Aduuh, maaf ya, Mbak? Anak saya sudah menabrak Mbak," kata ibu yang meneriaki anak tadi menghampiriku.

"Tidak apa-apa, Bu. Namanya juga anak kecil," jawabku.

"Viola! Tunggu Mama!" teriak ibu itu sembari membereskan buku-bukuku yang berserakan di lantai.

"Nggak usah dibantu, tidak apa-apa, Bu. Lebih baik ibu menyusul anaknya saja, keburu jauh," saranku karena aku bisa melihat rasa khawatir ibu itu.

"Beneran tidak apa-apa Mbak?"

"Iya, Bu, tidak apa-apa. Ibu tinggal pergi saja," ucapku.

Setelah ibu itu kembali mengejar anaknya, aku memunguti bukubuku yang masih berantakan di lantai, aku harus segera kembali ke ruangan sebelum kena marah Bu Sintia. Sembari memunguti buku itu aku teringat Umi, dulu aku juga pernah nakal seperti anak tadi. Waktu itu Umi mengajakku ke pasar malam, saking senangnya aku sampai berlari ke sana ke mari dan sempat terpisah dari Umi. Hampir dua jam aku menangis mencari keberadaan Umi, waktu itu aku ingin marah ke Umi karena langkahnya yang kurang cepat mengejarku yang akhirnya membuatku berpisah dengannya. Saat aku kembali bertemu dengan Umi, bukan amarah yang kurasa tetapi rasa bersalah yang teramat dalam tatkala melihat Umi menangis dikerumuni orang. Umi menangis karena kehilangan jejakku. Saat itu aku tidak mau membuat Umi menangis, karena membuatnya menangis membuatku merasa sedih.

Umi... Naira rindu.

Ingatanku tentang Umi buyar saat dua tangan membantuku memunguti buku-buku itu di lantai. Aku mendongak dan mendapati Genta yang jongkok di depanku membantuku memunguti buku itu.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang